TINJAUAN KRITIS
TERHADAP ASAS IDEOLOGI SOSIALISME DAN KAPITALISME
Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi

 1. Pendahuluan
            Di tengah berbagai gejolak politik dan ekonomi praktis yang terjadi dalam skala lokal dan global, pengkajian kritis terhadap ideologi sosialisme dan kapitalisme  tetaplah urgen bagi umat Islam. Terhadap sosialisme, mestilah dinyatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet awal dekade 90-an bukan berarti akhir absolut dari sosialisme. Kematian sosialisme bukanlah kematian biologis seperti kematian hewan yang mustahil hidup kembali. Sosialisme hanya mengalami kematian ideologis. Secara demikian sosialisme memiliki daya potensial untuk hidup kembali lagi ke muka bumi, selama masih ada individu atau kelompok yang mengimani sosialisme serta mengupayakan implementasinya dalam praktik kehidupan manusia. Karena itu, studi kritis atas sosialisme bukanlah hal yang tidak kontekstual, melainkan justru urgen untuk memadamkan sisa-sisa api yang kini masih menyala dalam reruntuhan dan puing sosialisme.
Terhadap kapitalisme, studi kritis terhadapnya tentu lebih urgen lagi, sebab setelah runtuhnya Uni Soviet, hegemoni ideologi kapitalisme semakin menguat dan merajalela tanpa lawan yang berarti dalam panggung politik internasional. Di sinilah muncul urgensitas studi kritis kapitalisme, sebab kapitalisme telah mewabah dan mendominasi umat manusia di seluruh dunia dengan berbagai implikasi buruknya. Karena itu, hancurnya kapitalisme bukan sekedar tantangan, melainkan telah menjadi keniscayaan sejarah yang bebannya terpikul pada pundak umat Islam dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari penindasan kapitalisme. Dan studi kritis kapitalisme tak diragukan lagi merupakan langkah pertama dari sekian upaya untuk menghancurkan ideologi tersebut. Dibandingkan dengan manuver ekonomi, politik, dan militer untuk meruntuhkan sebuah negara penganut ideologi tertentu, studi kritis terhadap suatu ideologi haruslah didahulukan, sebab manuver-manuver tersebut hanyalah langkah cabang dari langkah pangkalnya, yaitu kritik terhadap ideologi yang menjadi basis bagi segala praktik implementasinya dalam segenap aspek kehidupan.
            Bagi umat Islam umumnya dan aktivis Islam khususnya, studi kritis ideologi-ideologi asing ini menjadi satu sisi mata uang yang tak terpisah dengan sisi lainnya, yaitu penanaman ideologi Islam ke dalam pikiran dan jiwa umat Islam. Sebab upaya penanaman ideologi Islam tidak akan efektif kalau tak disertai dengan upaya pencabutan ideologi-ideologi asing tersebut dari pikiran dan jiwa umat Islam. Penanaman dan pencabutan adalah dua sejoli yang harus berjalan seiring, tak dapat dipisahkan.
              Makalah ini menjelaskan kritik terhadap ideologi sosialisme dan kapitalisme, ditinjau dari segi asas yang mendasari masing-masing ideologi. Metode yang digunakan adalah analisis komparasi terhadap asas-asas ideologi sosialisme, kapitalisme, dan Islam, disertai kritik terhadap asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil aqli) dan bukti imani (dalil naqli).

2. Pengertian Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab : mabda`) menurut Muhammad Muhammad. Ismail dalam Al Fikru Al Islami (1958), adalah "al fikru al asasi tubna alaihi afkaar". (pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain).   Pemikiran mendasar ini merupakan pemikiran paling asasi pada manusia, dalam arti tidak ada lagi pemikiran lain yang lebih dalam atau lebih mendasar daripadanya. Pemikiran mendasar ini dapat disebut sebagai aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun di atas dasar aqidah tadi, merupakan peraturan bagi kehidupan manusia (nizham) dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Gambar berikut menjelaskan pengertian ideologi secara umum.



            Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat aqliah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir. Bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah aqliah,  yang  di atasnya dapat  dibangun  pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.
Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan sebagai  “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham” (aqidah akliyah yang melahirkan nizham/peraturan kehidupan) (Taqiyyudin An Nabhani, 1953, Nizham Al Islam, hlm. 22).

Definisi ideologi sebagai “aqidah akliyah yang melahirkan nizham” ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan sosialisme, dan dapat pula berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempuma, yaitu Syariat Islam.
Dari sisi lain, ideologi tersusun dari fikrah (ideas, thoughts) dan thariqah (method). Ideologi dari sisi ini ditinjau dari segi: Pertama, konsep/pemikiran murni --yang semata-mata merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai bagaimana metode menerapkan konsep itu dalam kenyataan— dan Kedua, metodologi yang menjelaskan bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Di samping itu, juga untuk menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah unik. Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada thariqah yang khas untuk menerapkan fikrah tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain.
            Fikrah merupakan sekumpulan konsep/pemikiran yang terdiri dari aqidah dan solusi terhadap masalah manusia. Sedang thariqah –yang merupakan metodologi penerapan ideologi secara operasional-praktis— terdiri dari penjelasan cara solusi masalah, cara penyebarluasan ideologi, dan cara pemeliharan aqidah. Jadi, ideologi ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah dan thariqah, sebagai satu kesatuan. (Taqiyyudin An Nabhani, 1953, Nizham Al Islam, hlm. 22-23).

3. Pengertian Aqidah
            Karena makalah ini meninjau ideologi dari segi asas, maka akan diperdalam mengenai apa yang dimaksud dengan aqidah yang menjadi asas sebuah ideologi. 
            Dalam kamus Al Muhith karya Al Fairuz Abadi, seperti dikutip Muhammad Husain Abdullah (1990) dalam Dirasat fi Al Fikr Al Islami, aqidah  secara bahasa berasal dari  fi’il madhi ‘aqada, yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan). Maka dari itu, kata ‘aqada dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai makna yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al habl (mengikatkan tali), ‘aqdu al bai’ (mengadakan aqad (“ikatan”) jual-beli), ‘aqd al ‘ahdi (mengadakan aqad (“ikatan”) perjanjian) dan sebagainya (Muhammad Husain Abdullah, 1990).
            Masih secara  bahasa, aqidah  dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya (Muhammad Husain Abdullah, 1990). Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkannya secara yakin/pasti) (Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Syakhshiyyah Al Islamiyah, Juz I, hlm. 191).
            Dengan demikian, menurut bahasa, apa yang disebut aqidah itu adalah segala sesuatu pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati sedemikian rupa, sehingga hati itu kemudian terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia. (Taqiyuddin An Nabhani, 1994). Pemikiran yang demikian haruslah berupa pemikiran yang mendasar, atau pemikiran yang tercabang dari pemikiran mendasar. Pemikiran seperti inilah yang mempunyai pengaruh nyata pada seorang manusia. Misalnya pemikiran tentang adanya Hari Kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Pemikiran seperti ini mempunyai pengaruh nyata dalam kehidupan manusia. Orang yang beriman pada Hari Kiamat, misalnya, akan berhati-hati dalam hidupnya, tidak hidup liar dan seenaknya, karena dia yakin bahwa suatu saat kelak semua perbuatannya harus dipertanggungjawabkan pada Hari Kiamat. Sedangkan pemikiran-pemikiran yang tidak mendasar, dengan demikian, tidak disebut dengan aqidah, karena terikatnya hati dengan pemikiran-pemikiran seperti itu tidak memberikan dampak nyata terhadap manusia. Misalnya pemikiran bahwa bumi itu bulat, atau bahwa matahari pusat tatasurnya, dan sebagainya, bukanlah aqidah. Karena terikatnya hati dengan hal-hal tersebut tidak membawa dampak yang nyata terhadap keyakinan atau perilaku manusia.     
            Pengertian aqidah secara bahasa ini menjadi dasar perumusan pengertian aqidah secara istilah. Jika aqidah merupakan pemikiran-pemikiran mendasar yang hati itu terikat kepadanya (membenarkannya secara pasti), maka pertanyaan yang muncul adalah, pemikiran apakah yang merupakan  pemikiran mendasar itu ?
Dari sinilah muncul definisi aqidah secara istilah, yang dalam perumusannya terkandung pemikiran-pemikiran paling mendasar yang tidak ada pemikiran lain yang lebih mendasar lagi. Di atas pemikiran mendasar itulah dibangun pemikiran-pemikiran cabang yang berkenaan dengan kehidupan secara praktis, seperti sistem ekonomi, politik, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran ini adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan serta pemikiran-pemikiran lain yang berhubungan dengannya.
            Karena itu, secara istilah, aqidah adalah  pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia. (Muhammad Husain Abdullah, 1990). Definisi ini adalah definisi umum yang dapat berlaku untuk semua pemikiran mendasar atau aqidah. Ia dapat berlaku untuk aqidah ideologi kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, atau aqidah ideologi sosialisme, yaitu materialisme, dan berlaku pula untuk Aqidah Islamiyah.
            Definisi aqidah ini bila diurai secara rinci, mengandung  4 (empat) poin pemikiran :
Pertama, aqidah membahas tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dasar pembahasan tiga unsur ini berasal dari kenyataan bahwa manusia itu hidup di alam semesta (al insan yahya fi al kaun). Karena itu, aqidah harus menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek (pelaku)  kehidupan. Aqidah harus pula menjelaskan hakikat kehidupan, yang dengan adanya kehidupan itu dalam diri manusia, dia dapat beraktivitas dalam segala macam bentuknya. Yang dimaksud kehidupan di sini adalah sesuatu yang terdapat pada makhluk hidup dengan berbagai tanda-tanda kehidupan yang ada padanya, misalnya pertumbuhan, gerak, kebutuhan akan makanan, peka terhadap rangsang, dan sebagainya. Aqidah harus pula menjelaskan alam semesta, karena alam semesta merupakan tempat manusia hidup.
Dalam poin pertama ini, aqidah menjelaskan hakikat tiga unsur ini berkaitan keberadaan ketiganya dalam kehidupan dunia. Apakah tiga unsur itu makhluk (diciptakan) ataukah azali ? Khusus untuk manusia, poin pertama ini menjawab pertanyaan untuk apa manusia itu menjalani kehidupan dunia ? 
Kedua, aqidah membahas tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia. Maksudnya, aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada sebelum manusia hadir dalam kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin kedua ini menjawab pertanyaan, dari mana manusia berasal ? Apakah dia ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakannya ?
Ketiga, aqidah membahas tentang apa yang ada sesudah kehidupan dunia. Maksudnya, aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada setelah manusia mati atau meninggalkan kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin ketiga ini menjawab pertanyaan, ke mana manusia menuju setelah kematian ? Apakah akan berakhir begitu saja ataukah akan ada pertanggung jawaban ?
Keempat, aqidah membahas hubungan yang ada antara kehidupan dunia (yang di dalamnya ada unsur manusia, alam semesta, dan kehidupan), dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia. Hubungan apakah yang ada  antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia ? Hubungan apakah yang ada antara kehidupan dunia sekarang dengan  apa yang sesudah kehidupan dunia ? Pertanyaan–pertanyaan inilah yang dijawab dalam poin keempat ini. Berikut bagan tentang empat pertanyaan tersebut.


            Dengan demikian, dalam definisi aqidah, terdapat penjelasan-penjelasan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini disebut juga dengan istilah al ‘uqdah al kubro (simpul-simpul besar), yakni pertanyaan-pertanyaan besar dan mendasar tentang dari mana manusia (juga kehidupan dan alam semesta) berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke mana nanti manusia setelah mati.  (Muhammad Husain Abdullah, 1990).
            Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah disebut dengan fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiga fase kehidupan itu.  Jawaban itu disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan  pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.          
            Berikut adalah bagan yang menjelaskan hubungan aqidah sebagai jawaban dari Al Uqdatul Kubro.


4. Aqidah Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam
            Definisi aqidah yang telah diuraikan di atas, dapat digunakan sebagai kerangka umum untuk menganalisis aqidah dari masing-masing ideologi. Aqidah sosialisme adalah materialisme, aqidah kapitalisme adalah sekularisme, sedang aqidah Islam adalah Aqidah Islamiyah. Perhatikan gambar berikut.
           Aqidah sosialisme, termasuk komunisme, adalah materialisme, yaitu pandangan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan materi belaka, dan bahwasanya materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud sebelum alam materi ini (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari kalau alam ini diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi adalah pangkal aktivitas berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja.
            Sedangkan kapitalisme, aqidahnya adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dari kehidupan. Atas dasar aqidah ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Ideologi ini menetapkan adanya pemeliharaan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beraqidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, yang merupakan hal yang paling menonjol dalam ideologi ini. Oleh karena itu, ideologi tersebut dinamakan ideologi kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi itu.
Demokrasi yang dianut oleh ideologi ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya, sebagai konsekuensi logis dari ide pemisahan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya.  Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk mengubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.
Sekularisme yang merupakan  aqidah kapitalisme dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka --dengan mengatasnamakan agama-- dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak memberikan peran dalam pengaturan kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain hanya memisahkannya dari kehidupan.
Sekularisme pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta mengakui adanya Hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama.
 Dengan pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka, karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
            Sedang Islam, tegak atas dasar Aqidah Islamiyah, yaitu iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar baik dan buruknya dari Allah SWT. Aqidah ini menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas ideologi ini adalah iman akan adanya Allah SWT.
Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah kalamullah dan juga harus ada iman terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula bahwa sesudah kehidupan dunia ada yang harus diimani, yaitu Hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya. Manusia terikat pula dengan pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan kehidupan dunia dengan sesudahnya.
            Aqidah dari masing-masing idelogi yang telah diuraikan di atas dapat dibandingkan secara ringkas dalam bagan berikut.

No
Aspek Pertanyaan
MATERIALISME
SEKULARISME
AQIDAH ISLAMIYAH
1
Dari mana manusia berasal?
-Manusia berasal dari materi (tidak diciptakan Tuhan)
- Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (karena tidak mengakui eksistensi Allah)
-Manusia diciptakan Tuhan (secara formalitas)
-Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (kecuali secara parsial dan personal) 
-Manusia diciptakan Allah SWT
-Mengakui hubungan perintah & larangan (shilatu al-awamir) antara Allah dan manusia 
2
Untuk apa manusia  hidup?
--Mencari kebahagiaan jasmaniah yang sebesar-besarnya (tidak mengakui eksistensi agama)
-Mencari kebahagiaan jasmaniah yang sebesar-besarnya (mengakui eksistensi agama, tapi tidak mengakui peran agama mengatur kehidupan)
-Ibadah kepada Allah SWT (menjalani kehidupan dlm segala aspeknya  sesuai Islam)
3
Ke mana manusia  setelah mati?
-Manusia akan kembali menjadi materi
--Tidak mengakui  hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah)
-Kebangkitan pada Hari Kiamat (secara formalitas)
-Tidak mengakui  hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), atau membuat hubungan itu tidak jelas
-Kebangkitan pada Hari Kiamat
-Mengakui  hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah)


SOSIALISME

KAPITALISME

ISLAM


Gb.6. Aqidah Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam menjawab Al Uqdatul Kubro

5. Kritik Terhadap Aqidah Sosialisme dan Kapitalisme
            Yang menjadi indikasi benar atau salahnya suatu ideologi adalah aqidah ideologi itu sendiri, apakah aqidah itu benar atau salah. Sebab, kedudukan aqidah ini adalah sebagai asas bagi setiap pemikiran cabang yang muncul. Aqidah jugalah yang menentukan pandangan hidup dan yang melahirkan setiap pemecahan problema hidup serta pelaksanaannya (thariqah). Jika aqidahnya benar, maka ideologi itu benar. Sebaliknya, jika aqidahnya salah, maka ideologi itu dengan sendirinya sudah salah dari akarnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
            Dalam masalah ini Al Qur`an mengisyaratkan bahwa :

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (TQS Ibrahim : 24-26)

Ayat di atas menerangkan perbandingan kontras antara Islam dan agama/paham/ideologi kufur yang diumpamakan oleh Allah seperti pohon yang baik –dengan akarnya yang kokoh-- dan pohon yang buruk, dengan akarnya yang tercerabut dari tanah. Akar sebuah pohon menjadi penentu tegak tidaknya pohon itu.
Lalu apa tolok kebenaran suatu aqidah ?  Aqidah ini apabila sesuai dengan fitrah manusia dan dibangun berlandaskan akal, maka berarti merupakan aqidah yang benar. Sebaliknya, jika bertentangan dengan fitrah manusia atau tidak dibangun berlandaskan akal yang sehat, maka aqidah itu batil adanya. Yang dimaksud aqidah yang benar itu haruslah sesuai dengan fitrah manusia, adalah pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, yaitu kelemahan dan kebutuhan dirinya pada Yang Maha Pencipta. Yang dimaksud aqidah yang benar itu dibangun atas dasar akal yang sehat, adalah bahwa aqidah itu tidak berlandaskan materi ataupun sikap mengambil jalan tengah (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
            Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa standar kebenaran ideologi adalah aqidah ideologi itu sendiri. Sedang standar kebenaran aqidah ideologi adalah:
Pertama, kesesuaian dengah fitrah manusia
Kedua, kesesuaian dengan akal

5.a. Kesesuaian dengan Fitrah
Ideologi sosialisme tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab meskipun ideologi ini mengingkari adanya Allah dan ruh, akan tetapi ia tetap tidak mampu memusnahkan naluri beragama (gharizah tadayyun) sebagai fitrah manusia. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan mengalihkan perasaan taqdis (mensucikan/mensakralkan) kepada kekuatan besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur itu. Berarti, mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, masa animisme; mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk-Nya. Semua ini menyebabkan kemunduran manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama, melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan dengan mengembalikannya ke masa animisme.
Berdasarkan hal ini, ideologi sosialisme telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat, mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan perut mereka untuk menarik perhatian orang-orang yang lapar, pengecut, dan sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, atau orang yang gagal dan benci terhadap kehidupan, termasuk juga orang-orang sinting yang tidak waras cara berpikirnya yang merasa bangga dengan ide-ide sosialisme yang menurut mereka itu dapat memasukkan mereka ke jajaran kaum pemikir. Semua ini akan tampak tatkala mereka mendiskusikan dengan arogan tentang teori Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme. Padahal kenyataannya, ide-ide ini paling terlihat kerusakan dan kebatilannya, dan dengan sangat mudah dapat dibuktikan oleh perasaan fitri dan akal sehat.
Supaya manusia tunduk pada ideologi ini, maka ideologi ini memerlukan paksaan melalui kekuatan fisik. Maka tekanan, intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan masyarakat merupakan sarana-sarana yang penting untuk mengembangkan ideologi tersebut.
Ideologi kapitalisme juga bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Namun bukan berarti bahwa adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Tetapi arti pentingnya agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan sistem ini lahir dari aqidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah manusia, yaitu naluri beragama.
            Menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari suatu aqidah yang tidak sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Kapitalisme telah menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah masyarakat), sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan dari problematika hidup manusia dan pemecahannya.
Adapun ideologi Islam, tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Walaupun ia sangat mendalam tetapi gampang dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah dipahami, untuk mendalami isinya --sekalipun kompleks-- dengan penuh semangat dan kesungguhan. Karena memang beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabi'at manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya, yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan mensucikan-Nya. Oleh karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia, menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala Islam muncul di dunia, aqidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap Allah yang menciptakan segala sesuatu.

5.b. Kesesuaian dengan Akal
Ideologi sosialisme tidak dibangun atas dasar akal, tetapi bersandar pada materialisme, sekalipun dihasilkan oleh akal, karena ide komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya pemikiran (pengetahuan). Di samping itu karena ide ini menjadikan segala sesuatu berasal dari materi. Dengan demikian, ide ini bersifat materialistis. Sedangkan kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi) yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga beberapa abad di kalangan para pendeta gereja dan cendekiawan Barat yang kemudian menghasilkan pemisahan agama dari negara. Sosialisme dan kapitalisme telah gagal. Sebab, keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun berdasarkan akal.
Bukti bahwa ideologi sosialisme dibangun berlandaskan materialisme, bukan akal, adalah karena ideologi ini menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi tatkala otak merefleksikan materi, akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan memikirkan hakikat materi yang direfleksikan ke dalam otak. Sebelum hal itu terjadi, tentu tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu, menurut komunisme, haruslah berlandaskan pada materi. Maka dasar aqidah komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau dari dua segi :
Pertama, sebenarnya tidak ada refleksi/pantulan materi ke dalam otak. Otak tidak melakukan refleksi dengan materi. Juga, materi tidak berefleksi dengan otak. Sebab untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor untuk memantulkan dan memfokuskan, seperti halnya cermin yang memiliki kemampuan untuk memantulkan. Tetapi kenyataannya, hal semacam itu tidak ada, baik di otak maupun pada materinya. Oleh karena itu, tidak ada refleksi materi ke dalam otak secara mutlak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan gambaran tentang materi pun tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah pencerapan tentang materi (kesannya) melalui panca indera. Hal ini bukan refleksi antara materi dengan otak, dan bukan pula refleksi antara otak dengan materi, melainkan pencerapan tentang materi (melalui panca indera). Tidak ada perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya. Penginderaan dapat terjadi dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi dari suatu materi bukanlah berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan penginderaan terhadap sesuatu. Manusialah yang merasakan segala sesuatu dengan perantaraan panca inderanya, dan materi tidak direfleksikan.           
Kedua, sesungguhnya penginderaan saja tidaklah cukup menghasilkan suatu pemikiran. Sebab kalau hanya sampai di situ, yang terjadi hanyalah penginderaan saja terhadap fakta (materi). Penginderaan yang diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Proses tersebut mengharuskan adanya pengetahuan terdahulu (al ma’lumat as sabiqah) bagi manusia yang akan digunakan untuk menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga menghasilkan suatu pengetahuan.
Sebagai contoh kita ambil manusia yang ada sekarang. Manusia, siapapun orangnya apabila diberikan kepadanya buku berbahasa Cina sementara ia tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan bahasa Cina, lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan perabaan, diberi kesempatan menginderanya berkali-kali --meskipun sejuta kali-- maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu kata pun sampai diberikan kepadanya beberapa pengetahuan tentang bahasa Cina dan apa saja yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Pada saat itulah ia baru mulai berfikir dengan bahasa tersebut dan mampu memahaminya.
Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr (pemikiran), dan idrak (kesadaran), adalah pemindahan (transfer) fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang diperoleh sebelumnya, yang kemudian digunakan untuk menafsirkan kenyataan tersebut.
Oleh karena itu, ideologi sosialisme jelas-jelas keliru dan rusak; sebab dia dibangun atas dasar materi, tidak dibangun berdasarkan akal. Sama rusaknya dengan pengertian mereka tentang pemikiran dan akal.
Ideologi kapitalisme juga tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun berdasarkan jalan tengah antara tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama beberapa abad di antara mereka. Jalan tengah itu adalah memisahkan agama dari kehidupan, yakni mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, ideologi ini tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun atas dasar kompromi kedua belah pihak sebagai jalan tengah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran/keputusan yang diambil berdasarkan jalan tengah merupakan hal yang asasi bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil, antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh jalan tengah. Padahal sesungguhnya jalan tengah itu tidak ada faktanya; sebab masalahnya adalah tinggal memilih tindakan secara jelas dan tegas. Apakah yang haq atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan. Pemecahan yang berasal dari jalan kompromi yang di atasnya dibangun aqidah mereka ini, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Oleh karena itu, ideologi kapitalisme adalah rusak, karena tidak dibangun atas dasar akal.
Ideologi Islam adalah ideologi yang positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah. Ideologi ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan kehidupan, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu ideologi ini menunjukkan kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya. Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ideologi ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keimanan terhadap Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya.
Islam dibangun atas dasar akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad SAW, ke-mukjizatan Al-Quranul Karim dengan menggunakan akalnya. Juga mewajibkan beriman kepada yang ghaib dengan syarat harus berasal dari sesuatu dasar yang dapat dibuktikan keberadaan dan kebenarannya dengan akal seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, ideologi ini dibangun atas dasar akal.
            Ringkasan seluruh uraian di atas dapat dilihat dalam bagan berikut.

No
Standar Kebenaran Aqidah

SOSIALISME

KAPITALISME
ISLAM
1
Kesesuaian dengan fitrah
-Tidak sesuai fitrah, sebab (berusaha) menafikan naluri beragama, atau  mengalihkannya pada objek yang salah (ideologi, pengikut ideologi, tokoh, dll)
-Tidak sesuai fitrah, sebab tidak mengakui ketidakmampuan manusia mengatur kehidupan, sehingga manusia membuat sendiri aturan hidupnya
-Sesuai fitrah, mengakui ketidakmampuan manusia mengatur kehidupan, sehingga mengambil aturan hidup dari Al Khaliq
2
Kesesuaian dengan akal
-Tidak dibangun atas dasar akal, tetapi atas dasar materi, sebab materi dianggap mendahului pemikiran. Pemikiran dianggap refleksi materi ke dalam otak
-Tidak dibangun atas dasar akal, tetapi jalan tengah, antara yang mengingkari agama secara mutlak, dengan yang mengharuskan tunduknya semua aspek kehidupan pada agama
-Dibangun atas dasar akal, sebab dgn akal dapat dicapai iman kpd Allah, Al Qur`an, dan kerasulan Muhammad, yang kemudian menjadi dasar penetapan adanya dalil naqli, untuk mencapai iman kepada yang gaib

Gb.7. Kritik Terhadap Aqidah Sosialisme dan Kapitalisme Berdasarkan Standar Kesesuaiannya Dengan Fitrah dan Akal
           
6. Penutup
Berdasarkan semua uraian sebelumnya, hanya asas (aqidah) ideologi Islamlah satu-satunya yang benar, sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme adalah rusak.  Asas ideologi Islam dibangun berdasarkan akal, amat  berbeda dengan ideologi sosialisme dan kapitalisme yang tidak dibangun berlandaskan akal. Di samping itu, asas ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berlawanan dengan fitrah manusia.
Kritik ini adalah kritik yang berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil aqli). Di samping itu, kebatilan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme juga dapat juga didasarkan pada dalil naqli, yakti bahwa keduanya adalah ideologi kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS Al Maaidah : 44)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…”: (TQS An Nisaa` : 60)  [   ]


Bahan Bacaan :

‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, tp, Al Quds

Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, Darul Bayariq, Beirut

Abdullah, Muhammad Husain, 1994, Mafahim Islamiyah, Darul Bayariq, Beirut

Al Qashash, Ahmad, 1995, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, Darul Ummah, Beirut

               An Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhamul Islam, tp, Al Quds

An Nabhani, Taqiyuddin, 1994, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz I, Darul Ummah, Beirut

‘Athiyat, Ahmad, 1996, Ath Thariq, Darul Bayariq, Beirut

Az Zain, Samih Athif, 1983, Thariq Al Iman, Darul Kitab Al Lubnani, Beirut

Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al Fikru Al Islami, t.p, Kairo

Shalih, Hafizh, 1988, An Nahdhah, Darun Nahdhah Al Islamiyah, Beirut




1 Comments

maaf, masih kacau dalam pengeditannya. nanti akan aku edit lagi deh. hee