Tinjauan Kritis Terhadap Asas Ideologi Sosialisme dan Kapitalisme
TINJAUAN KRITIS
TERHADAP ASAS IDEOLOGI SOSIALISME DAN KAPITALISME
Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi
1.
Pendahuluan
Di tengah
berbagai gejolak politik dan ekonomi praktis yang terjadi dalam skala lokal dan
global, pengkajian kritis terhadap ideologi sosialisme dan kapitalisme tetaplah urgen bagi umat Islam. Terhadap
sosialisme, mestilah dinyatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet awal dekade 90-an
bukan berarti akhir absolut dari sosialisme. Kematian sosialisme bukanlah kematian
biologis seperti kematian hewan yang mustahil hidup kembali. Sosialisme hanya
mengalami kematian ideologis. Secara demikian sosialisme memiliki daya
potensial untuk hidup kembali lagi ke muka bumi, selama masih ada individu atau
kelompok yang mengimani sosialisme serta mengupayakan implementasinya dalam
praktik kehidupan manusia. Karena itu, studi kritis atas sosialisme bukanlah
hal yang tidak kontekstual, melainkan justru urgen untuk memadamkan sisa-sisa
api yang kini masih menyala dalam reruntuhan dan puing sosialisme.
Terhadap
kapitalisme, studi kritis terhadapnya tentu lebih urgen lagi, sebab setelah
runtuhnya Uni Soviet, hegemoni ideologi kapitalisme semakin menguat dan
merajalela tanpa lawan yang berarti dalam panggung politik internasional. Di
sinilah muncul urgensitas studi kritis kapitalisme, sebab kapitalisme telah
mewabah dan mendominasi umat manusia di seluruh dunia dengan berbagai implikasi
buruknya. Karena itu, hancurnya kapitalisme bukan sekedar tantangan, melainkan
telah menjadi keniscayaan sejarah yang bebannya terpikul pada pundak umat Islam
dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari penindasan kapitalisme. Dan studi
kritis kapitalisme tak diragukan lagi merupakan langkah pertama dari sekian
upaya untuk menghancurkan ideologi tersebut. Dibandingkan dengan manuver ekonomi,
politik, dan militer untuk meruntuhkan sebuah negara penganut ideologi
tertentu, studi kritis terhadap suatu ideologi haruslah didahulukan, sebab
manuver-manuver tersebut hanyalah langkah cabang dari langkah pangkalnya, yaitu
kritik terhadap ideologi yang menjadi basis bagi segala praktik implementasinya
dalam segenap aspek kehidupan.
Bagi umat Islam umumnya dan aktivis
Islam khususnya, studi kritis ideologi-ideologi asing ini menjadi satu sisi
mata uang yang tak terpisah dengan sisi lainnya, yaitu penanaman ideologi Islam
ke dalam pikiran dan jiwa umat Islam. Sebab upaya penanaman ideologi Islam
tidak akan efektif kalau tak disertai dengan upaya pencabutan ideologi-ideologi
asing tersebut dari pikiran dan jiwa umat Islam. Penanaman dan pencabutan adalah
dua sejoli yang harus berjalan seiring, tak dapat dipisahkan.
Makalah ini menjelaskan kritik terhadap ideologi sosialisme dan
kapitalisme, ditinjau dari segi asas yang mendasari masing-masing ideologi.
Metode yang digunakan adalah analisis komparasi terhadap asas-asas ideologi
sosialisme, kapitalisme, dan Islam, disertai kritik terhadap asas ideologi
sosialisme dan kapitalisme berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil aqli)
dan bukti imani (dalil naqli).
2. Pengertian Ideologi
Secara umum,
ideologi (Arab : mabda`) menurut Muhammad Muhammad. Ismail dalam Al Fikru
Al Islami (1958), adalah "al fikru al asasi
tubna alaihi afkaar". (pemikiran mendasar yang di
atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain).
Pemikiran mendasar ini merupakan pemikiran paling asasi pada manusia,
dalam arti tidak ada lagi pemikiran lain yang lebih dalam atau lebih mendasar
daripadanya. Pemikiran mendasar ini dapat disebut sebagai aqidah, yang
merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan.
Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun di atas dasar aqidah tadi,
merupakan peraturan bagi kehidupan manusia (nizham) dalam segala
aspeknya seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Gambar
berikut menjelaskan pengertian ideologi secara umum.
Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat aqliah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir. Bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah aqliah, yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.
Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan
sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu
‘anha nizham” (aqidah akliyah yang melahirkan nizham/peraturan kehidupan)
(Taqiyyudin An Nabhani, 1953, Nizham Al Islam, hlm. 22).
Definisi ideologi sebagai “aqidah
akliyah yang melahirkan nizham” ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan
berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan sosialisme, dan
dapat pula berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam mempunyai sebuah aqidah
akliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang
sempuma, yaitu Syariat Islam.
Dari sisi lain, ideologi tersusun
dari fikrah (ideas, thoughts) dan thariqah (method). Ideologi
dari sisi ini ditinjau dari segi: Pertama, konsep/pemikiran murni --yang
semata-mata merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai bagaimana metode
menerapkan konsep itu dalam kenyataan— dan Kedua, metodologi yang
menjelaskan bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan
ideologi sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini dimaksudkan untuk menerangkan
bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Di samping
itu, juga untuk menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah
unik. Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada thariqah yang
khas untuk menerapkan fikrah tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri,
bukan dari ideologi yang lain.
Fikrah merupakan sekumpulan
konsep/pemikiran yang terdiri dari aqidah dan solusi terhadap masalah manusia.
Sedang thariqah –yang merupakan metodologi penerapan ideologi secara
operasional-praktis— terdiri dari penjelasan cara solusi masalah, cara
penyebarluasan ideologi, dan cara pemeliharan aqidah. Jadi, ideologi ditinjau
dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah dan thariqah, sebagai satu kesatuan.
(Taqiyyudin An Nabhani, 1953, Nizham Al Islam, hlm. 22-23).
3. Pengertian Aqidah
Karena
makalah ini meninjau ideologi dari segi asas, maka akan diperdalam mengenai apa
yang dimaksud dengan aqidah yang menjadi asas sebuah ideologi.
Dalam kamus Al Muhith karya
Al Fairuz Abadi, seperti dikutip Muhammad Husain Abdullah (1990) dalam Dirasat
fi Al Fikr Al Islami, aqidah secara
bahasa berasal dari fi’il madhi ‘aqada,
yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan). Maka dari itu,
kata ‘aqada dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai makna yang
intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al habl
(mengikatkan tali), ‘aqdu al bai’ (mengadakan aqad (“ikatan”)
jual-beli), ‘aqd al ‘ahdi (mengadakan aqad (“ikatan”) perjanjian) dan
sebagainya (Muhammad Husain Abdullah, 1990).
Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al
qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya (Muhammad Husain
Abdullah, 1990). Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi
(hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu
membenarkannya secara yakin/pasti) (Taqiyuddin An Nabhani, 1994, Syakhshiyyah
Al Islamiyah, Juz I, hlm. 191).
Dengan demikian, menurut bahasa, apa
yang disebut aqidah itu adalah segala sesuatu pemikiran yang dibenarkan secara
pasti oleh hati sedemikian rupa, sehingga hati itu kemudian terikat kepadanya
dan memberi pengaruh nyata pada manusia. (Taqiyuddin An Nabhani, 1994).
Pemikiran yang demikian haruslah berupa pemikiran yang mendasar, atau pemikiran
yang tercabang dari pemikiran mendasar. Pemikiran seperti inilah yang mempunyai
pengaruh nyata pada seorang manusia. Misalnya pemikiran tentang adanya Hari
Kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Pemikiran seperti ini mempunyai pengaruh
nyata dalam kehidupan manusia. Orang yang beriman pada Hari Kiamat, misalnya,
akan berhati-hati dalam hidupnya, tidak hidup liar dan seenaknya, karena dia
yakin bahwa suatu saat kelak semua perbuatannya harus dipertanggungjawabkan
pada Hari Kiamat. Sedangkan pemikiran-pemikiran yang tidak mendasar, dengan
demikian, tidak disebut dengan aqidah, karena terikatnya hati dengan
pemikiran-pemikiran seperti itu tidak memberikan dampak nyata terhadap manusia.
Misalnya pemikiran bahwa bumi itu bulat, atau bahwa matahari pusat tatasurnya,
dan sebagainya, bukanlah aqidah. Karena terikatnya hati dengan hal-hal tersebut
tidak membawa dampak yang nyata terhadap keyakinan atau perilaku manusia.
Pengertian aqidah secara bahasa ini
menjadi dasar perumusan pengertian aqidah secara istilah. Jika aqidah merupakan
pemikiran-pemikiran mendasar yang hati itu terikat kepadanya (membenarkannya
secara pasti), maka pertanyaan yang muncul adalah, pemikiran apakah yang
merupakan pemikiran mendasar itu ?
Dari
sinilah muncul definisi aqidah secara istilah, yang dalam perumusannya
terkandung pemikiran-pemikiran paling mendasar yang tidak ada pemikiran lain
yang lebih mendasar lagi. Di atas pemikiran mendasar itulah dibangun
pemikiran-pemikiran cabang yang berkenaan dengan kehidupan secara praktis,
seperti sistem ekonomi, politik, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran ini adalah
pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan serta
pemikiran-pemikiran lain yang berhubungan dengannya.
Karena itu, secara istilah, aqidah
adalah pemikiran menyeluruh tentang alam
semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan
dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa
yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia. (Muhammad
Husain Abdullah, 1990). Definisi ini adalah definisi umum yang dapat berlaku
untuk semua pemikiran mendasar atau aqidah. Ia dapat berlaku untuk aqidah
ideologi kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, atau aqidah
ideologi sosialisme, yaitu materialisme, dan berlaku pula untuk Aqidah
Islamiyah.
Definisi aqidah ini bila diurai
secara rinci, mengandung 4 (empat) poin
pemikiran :
Pertama, aqidah membahas tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dasar
pembahasan tiga unsur ini berasal dari kenyataan bahwa manusia itu hidup di
alam semesta (al insan yahya fi al kaun). Karena itu, aqidah harus
menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek (pelaku) kehidupan. Aqidah harus pula menjelaskan
hakikat kehidupan, yang dengan adanya kehidupan itu dalam diri manusia, dia
dapat beraktivitas dalam segala macam bentuknya. Yang dimaksud kehidupan di
sini adalah sesuatu yang terdapat pada makhluk hidup dengan berbagai
tanda-tanda kehidupan yang ada padanya, misalnya pertumbuhan, gerak, kebutuhan
akan makanan, peka terhadap rangsang, dan sebagainya. Aqidah harus pula
menjelaskan alam semesta, karena alam semesta merupakan tempat manusia hidup.
Dalam
poin pertama ini, aqidah menjelaskan hakikat tiga unsur ini berkaitan
keberadaan ketiganya dalam kehidupan dunia. Apakah tiga unsur itu makhluk
(diciptakan) ataukah azali ? Khusus untuk manusia, poin pertama ini menjawab
pertanyaan untuk apa manusia itu menjalani kehidupan dunia ?
Kedua, aqidah membahas tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia.
Maksudnya, aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada sebelum manusia hadir
dalam kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin kedua ini menjawab
pertanyaan, dari mana manusia berasal ? Apakah dia ada dengan sendirinya atau
ada yang menciptakannya ?
Ketiga, aqidah membahas tentang apa yang ada sesudah kehidupan dunia.
Maksudnya, aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada setelah manusia mati atau
meninggalkan kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin ketiga ini menjawab
pertanyaan, ke mana manusia menuju setelah kematian ? Apakah akan berakhir
begitu saja ataukah akan ada pertanggung jawaban ?
Keempat, aqidah membahas hubungan yang ada antara kehidupan dunia (yang di
dalamnya ada unsur manusia, alam semesta, dan kehidupan), dengan apa yang ada
sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia. Hubungan apakah yang
ada antara apa yang ada sebelum
kehidupan dunia dengan kehidupan dunia ? Hubungan apakah yang ada antara
kehidupan dunia sekarang dengan apa yang
sesudah kehidupan dunia ? Pertanyaan–pertanyaan inilah yang dijawab dalam poin
keempat ini. Berikut bagan tentang empat pertanyaan tersebut.
Dengan demikian, dalam definisi
aqidah, terdapat penjelasan-penjelasan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini disebut juga dengan istilah al
‘uqdah al kubro (simpul-simpul besar), yakni pertanyaan-pertanyaan besar
dan mendasar tentang dari mana manusia (juga kehidupan dan alam semesta)
berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke mana nanti manusia setelah mati. (Muhammad Husain Abdullah, 1990).
Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu
al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah disebut dengan fikrah
kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu
yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga
fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiga
fase kehidupan itu. Jawaban itu
disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah
fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban
terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan
pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena
jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun
pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.
Berikut adalah bagan yang
menjelaskan hubungan aqidah sebagai jawaban dari Al Uqdatul Kubro.
4. Aqidah
Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam
Definisi
aqidah yang telah diuraikan di atas, dapat digunakan sebagai kerangka umum
untuk menganalisis aqidah dari masing-masing ideologi. Aqidah sosialisme adalah
materialisme, aqidah kapitalisme adalah sekularisme, sedang aqidah Islam adalah
Aqidah Islamiyah. Perhatikan gambar berikut.
Aqidah sosialisme,
termasuk komunisme, adalah materialisme, yaitu pandangan bahwa
alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan materi belaka, dan bahwasanya
materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi
inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud
sebelum alam materi ini (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari
kalau alam ini diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari
aspek kerohanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya
aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap
sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka
tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya,
berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi
adalah pangkal aktivitas berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang
berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini
berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu
bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah
kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja.
Sedangkan kapitalisme,
aqidahnya adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dari
kehidupan. Atas dasar aqidah ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah
yang berhak membuat peraturan hidupnya. Ideologi ini menetapkan adanya
pemeliharaan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beraqidah,
berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini
dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, yang merupakan hal yang paling menonjol
dalam ideologi ini. Oleh karena itu, ideologi tersebut dinamakan ideologi
kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam
ideologi itu.
Demokrasi yang dianut oleh ideologi
ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya,
sebagai konsekuensi logis dari ide pemisahan agama dari kehidupan. Oleh karena
itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang
membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk
menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya.
Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara,
sekaligus menggantinya, termasuk mengubah undang-undang sesuai dengan
kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja
antara rakyat dengan kepala negara yang digaji untuk menjalankan pemerintahan
sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.
Sekularisme yang merupakan aqidah kapitalisme dianggap sebagai kompromi
(jalan tengah) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus
tunduk kepada mereka --dengan mengatasnamakan agama-- dengan para filosof dan
cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi,
ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi
juga tidak memberikan peran dalam pengaturan kehidupan. Yang mereka lakukan
tidak lain hanya memisahkannya dari kehidupan.
Sekularisme pada hakekatnya merupakan pengakuan
secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan, serta mengakui adanya Hari Kebangkitan. Sebab,
semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama.
Dengan
pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta, manusia,
dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan
dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan
bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya
sekadar formalitas belaka, karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya,
tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada
hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Sedang Islam, tegak atas
dasar Aqidah Islamiyah, yaitu iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar baik dan
buruknya dari Allah SWT. Aqidah ini menerangkan bahwa di balik alam semesta,
manusia, dan kehidupan, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala
sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas ideologi ini adalah iman akan adanya Allah SWT.
Iman kepada Allah SWT harus disertai
dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga
bahwasanya Al-Quran itu adalah kalamullah dan juga harus ada iman
terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah
menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani
keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula bahwa sesudah kehidupan
dunia ada yang harus diimani, yaitu Hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam
kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan
larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya.
Manusia terikat pula dengan pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua
perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan
kehidupan dunia dengan sesudahnya.
Aqidah dari masing-masing idelogi
yang telah diuraikan di atas dapat dibandingkan secara ringkas dalam bagan
berikut.
No
|
Aspek Pertanyaan
|
MATERIALISME
|
SEKULARISME
|
AQIDAH ISLAMIYAH
|
1
|
Dari mana manusia
berasal?
|
-Manusia berasal
dari materi (tidak diciptakan Tuhan)
- Tidak mengakui
hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (karena tidak
mengakui eksistensi Allah)
|
-Manusia diciptakan
Tuhan (secara formalitas)
-Tidak mengakui
hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (kecuali secara
parsial dan personal)
|
-Manusia diciptakan
Allah SWT
-Mengakui hubungan
perintah & larangan (shilatu al-awamir) antara Allah dan
manusia
|
2
|
Untuk apa
manusia hidup?
|
--Mencari
kebahagiaan jasmaniah yang sebesar-besarnya (tidak mengakui eksistensi agama)
|
-Mencari kebahagiaan
jasmaniah yang sebesar-besarnya (mengakui eksistensi agama, tapi tidak
mengakui peran agama mengatur kehidupan)
|
-Ibadah kepada Allah
SWT (menjalani kehidupan dlm segala aspeknya
sesuai Islam)
|
3
|
Ke mana manusia setelah mati?
|
-Manusia akan
kembali menjadi materi
--Tidak
mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu
al-muhasabah)
|
-Kebangkitan pada
Hari Kiamat (secara formalitas)
-Tidak mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu
al-muhasabah), atau membuat hubungan itu tidak jelas
|
-Kebangkitan pada
Hari Kiamat
-Mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu
al-muhasabah)
|
|
|
SOSIALISME |
KAPITALISME |
ISLAM |
Gb.6. Aqidah
Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam menjawab Al Uqdatul Kubro
5. Kritik
Terhadap Aqidah Sosialisme dan Kapitalisme
Yang menjadi indikasi benar atau salahnya suatu ideologi adalah aqidah
ideologi itu sendiri, apakah aqidah itu benar atau salah. Sebab, kedudukan
aqidah ini adalah sebagai asas bagi setiap pemikiran cabang yang muncul. Aqidah
jugalah yang menentukan pandangan hidup dan yang melahirkan setiap pemecahan
problema hidup serta pelaksanaannya (thariqah). Jika aqidahnya benar,
maka ideologi itu benar. Sebaliknya, jika aqidahnya salah, maka ideologi itu
dengan sendirinya sudah salah dari akarnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Dalam
masalah ini Al Qur`an mengisyaratkan bahwa :
“Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan
perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut
dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (TQS Ibrahim : 24-26)
Ayat
di atas menerangkan perbandingan kontras antara Islam dan agama/paham/ideologi
kufur yang diumpamakan oleh Allah seperti pohon yang baik –dengan akarnya yang
kokoh-- dan pohon yang buruk, dengan akarnya yang tercerabut dari tanah. Akar
sebuah pohon menjadi penentu tegak tidaknya pohon itu.
Lalu apa tolok kebenaran suatu
aqidah ? Aqidah ini apabila sesuai
dengan fitrah manusia dan dibangun berlandaskan akal, maka berarti merupakan
aqidah yang benar. Sebaliknya, jika bertentangan dengan fitrah manusia atau
tidak dibangun berlandaskan akal yang sehat, maka aqidah itu batil adanya. Yang
dimaksud aqidah yang benar itu haruslah sesuai dengan fitrah manusia, adalah
pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, yaitu kelemahan dan
kebutuhan dirinya pada Yang Maha Pencipta. Yang dimaksud aqidah yang benar itu
dibangun atas dasar akal yang sehat, adalah bahwa aqidah itu tidak berlandaskan
materi ataupun sikap mengambil jalan tengah (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Dari uraian singkat ini, dapat
disimpulkan bahwa standar kebenaran ideologi adalah aqidah ideologi itu
sendiri. Sedang standar kebenaran aqidah ideologi adalah:
Pertama, kesesuaian dengah fitrah manusia
Kedua, kesesuaian dengan akal
5.a. Kesesuaian dengan Fitrah
Ideologi sosialisme tidak sesuai dengan
fitrah manusia. Sebab meskipun ideologi ini mengingkari adanya Allah dan ruh,
akan tetapi ia tetap tidak mampu memusnahkan naluri beragama (gharizah
tadayyun) sebagai fitrah manusia. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan
pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan
mengalihkan perasaan taqdis (mensucikan/mensakralkan) kepada kekuatan
besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri
para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur itu.
Berarti, mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, masa animisme;
mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari
pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap
doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk-Nya. Semua ini menyebabkan
kemunduran manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama,
melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan
dengan mengembalikannya ke masa animisme.
Berdasarkan hal ini, ideologi sosialisme
telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat,
mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan
perut mereka untuk menarik perhatian orang-orang yang lapar, pengecut, dan
sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, atau orang
yang gagal dan benci terhadap kehidupan, termasuk juga orang-orang sinting yang
tidak waras cara berpikirnya yang merasa bangga dengan ide-ide sosialisme yang
menurut mereka itu dapat memasukkan mereka ke jajaran kaum pemikir. Semua ini
akan tampak tatkala mereka mendiskusikan dengan arogan tentang teori Dialektika
Materialisme dan Historis Materialisme. Padahal kenyataannya,
ide-ide ini paling terlihat kerusakan dan kebatilannya, dan dengan sangat mudah
dapat dibuktikan oleh perasaan fitri dan akal sehat.
Supaya manusia tunduk pada ideologi ini,
maka ideologi ini memerlukan paksaan melalui kekuatan fisik. Maka tekanan,
intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan masyarakat
merupakan sarana-sarana yang penting untuk mengembangkan ideologi tersebut.
Ideologi kapitalisme juga bertentangan
dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama.
Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di
samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan
tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini
menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Oleh karena
itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia.
Namun bukan berarti bahwa adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal
perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Tetapi arti
pentingnya agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan
hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan
sistem ini lahir dari aqidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah
manusia, yaitu naluri beragama.
Menjauhkan
peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari suatu aqidah yang tidak
sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka
dari itu, kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Kapitalisme
telah menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah
masyarakat), sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan dari
problematika hidup manusia dan pemecahannya.
Adapun ideologi Islam, tidak
bertentangan dengan fitrah manusia. Walaupun ia sangat mendalam tetapi gampang
dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah
dipahami, untuk mendalami isinya --sekalipun kompleks-- dengan penuh semangat
dan kesungguhan. Karena memang beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri
manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada
satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab
merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabi'at manusia merasakan bahwa
dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna
dibandingkan dirinya, yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan
terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan
bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang
bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan
mensucikan-Nya. Oleh karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa
cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia,
menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala
Islam muncul di dunia, aqidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat
manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap
Allah yang menciptakan segala sesuatu.
5.b. Kesesuaian dengan
Akal
Ideologi sosialisme tidak dibangun
atas dasar akal, tetapi bersandar pada materialisme, sekalipun dihasilkan oleh
akal, karena ide komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya
pemikiran (pengetahuan). Di samping itu karena ide ini menjadikan segala
sesuatu berasal dari materi. Dengan demikian, ide ini bersifat materialistis.
Sedangkan kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi)
yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga beberapa
abad di kalangan para pendeta gereja dan cendekiawan Barat yang kemudian
menghasilkan pemisahan agama dari negara. Sosialisme dan kapitalisme telah
gagal. Sebab, keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun
berdasarkan akal.
Bukti bahwa ideologi sosialisme
dibangun berlandaskan materialisme, bukan akal, adalah karena ideologi ini
menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi tatkala otak
merefleksikan materi, akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan
memikirkan hakikat materi yang direfleksikan ke dalam otak. Sebelum hal itu
terjadi, tentu tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu,
menurut komunisme, haruslah berlandaskan pada materi. Maka dasar aqidah
komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau
dari dua segi :
Pertama, sebenarnya tidak ada refleksi/pantulan materi ke
dalam otak. Otak tidak melakukan refleksi dengan materi. Juga, materi tidak
berefleksi dengan otak. Sebab untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor
untuk memantulkan dan memfokuskan, seperti halnya cermin yang memiliki
kemampuan untuk memantulkan. Tetapi kenyataannya, hal semacam itu tidak ada,
baik di otak maupun pada materinya. Oleh karena itu, tidak ada refleksi materi
ke dalam otak secara mutlak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan gambaran
tentang materi pun tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah
pencerapan tentang materi (kesannya) melalui panca indera. Hal ini bukan
refleksi antara materi dengan otak, dan bukan pula refleksi antara otak dengan
materi, melainkan pencerapan tentang materi (melalui panca indera). Tidak ada
perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya.
Penginderaan dapat terjadi dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran
sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi dari
suatu materi bukanlah berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan
penginderaan terhadap sesuatu. Manusialah yang merasakan segala sesuatu dengan
perantaraan panca inderanya, dan materi tidak direfleksikan.
Kedua, sesungguhnya penginderaan saja tidaklah cukup
menghasilkan suatu pemikiran. Sebab kalau hanya sampai di situ, yang terjadi
hanyalah penginderaan saja terhadap fakta (materi). Penginderaan yang
diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan
penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Proses tersebut mengharuskan
adanya pengetahuan terdahulu (al ma’lumat as sabiqah) bagi manusia yang
akan digunakan untuk menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga
menghasilkan suatu pengetahuan.
Sebagai contoh kita ambil manusia yang ada
sekarang. Manusia, siapapun orangnya apabila diberikan kepadanya buku berbahasa
Cina sementara ia tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan bahasa Cina,
lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan
perabaan, diberi kesempatan menginderanya berkali-kali --meskipun sejuta kali--
maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu kata pun sampai diberikan kepadanya
beberapa pengetahuan tentang bahasa Cina dan apa saja yang berkaitan dengan
bahasa tersebut. Pada saat itulah ia baru mulai berfikir dengan bahasa tersebut
dan mampu memahaminya.
Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr
(pemikiran), dan idrak (kesadaran), adalah pemindahan (transfer) fakta melalui
panca indera ke dalam otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang
diperoleh sebelumnya, yang kemudian digunakan untuk menafsirkan kenyataan
tersebut.
Oleh karena itu, ideologi sosialisme
jelas-jelas keliru dan rusak; sebab dia dibangun atas dasar materi, tidak
dibangun berdasarkan akal. Sama rusaknya dengan pengertian mereka tentang
pemikiran dan akal.
Ideologi kapitalisme juga tidak
dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun berdasarkan jalan tengah antara
tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan
dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama
beberapa abad di antara mereka. Jalan tengah itu adalah memisahkan agama dari
kehidupan, yakni mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi
dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, ideologi ini tidak dibangun atas
dasar akal, tetapi dibangun atas dasar kompromi kedua belah pihak sebagai jalan
tengah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pemikiran/keputusan yang diambil berdasarkan jalan tengah merupakan hal yang
asasi bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil,
antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh
jalan tengah. Padahal sesungguhnya jalan tengah itu tidak ada faktanya; sebab
masalahnya adalah tinggal memilih tindakan secara jelas dan tegas. Apakah yang haq
atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan.
Pemecahan yang berasal dari jalan kompromi yang di atasnya dibangun aqidah
mereka ini, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Oleh
karena itu, ideologi kapitalisme adalah rusak, karena tidak dibangun atas dasar
akal.
Ideologi Islam adalah ideologi yang
positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah.
Ideologi ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan
kehidupan, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah
menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu ideologi ini menunjukkan
kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya.
Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ideologi
ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keimanan terhadap
Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya.
Islam dibangun atas dasar akal yang
mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad
SAW, ke-mukjizatan Al-Quranul Karim dengan menggunakan akalnya. Juga
mewajibkan beriman kepada yang ghaib dengan syarat harus berasal dari
sesuatu dasar yang dapat dibuktikan keberadaan dan kebenarannya dengan akal
seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, ideologi ini
dibangun atas dasar akal.
Ringkasan
seluruh uraian di atas dapat dilihat dalam bagan berikut.
No
|
Standar Kebenaran
Aqidah
|
SOSIALISME
|
KAPITALISME
|
ISLAM
|
1
|
Kesesuaian dengan
fitrah
|
-Tidak sesuai
fitrah, sebab (berusaha) menafikan naluri beragama, atau mengalihkannya pada objek yang salah
(ideologi, pengikut ideologi, tokoh, dll)
|
-Tidak sesuai
fitrah, sebab tidak mengakui ketidakmampuan manusia mengatur kehidupan,
sehingga manusia membuat sendiri aturan hidupnya
|
-Sesuai fitrah,
mengakui ketidakmampuan manusia mengatur kehidupan, sehingga mengambil aturan
hidup dari Al Khaliq
|
2
|
Kesesuaian dengan
akal
|
-Tidak dibangun atas
dasar akal, tetapi atas dasar materi, sebab materi dianggap mendahului
pemikiran. Pemikiran dianggap refleksi materi ke dalam otak
|
-Tidak dibangun atas
dasar akal, tetapi jalan tengah, antara yang mengingkari agama secara mutlak,
dengan yang mengharuskan tunduknya semua aspek kehidupan pada agama
|
-Dibangun atas dasar
akal, sebab dgn akal dapat dicapai iman kpd Allah, Al Qur`an, dan kerasulan
Muhammad, yang kemudian menjadi dasar penetapan adanya dalil naqli, untuk
mencapai iman kepada yang gaib
|
Gb.7. Kritik Terhadap Aqidah
Sosialisme dan Kapitalisme Berdasarkan Standar Kesesuaiannya Dengan Fitrah dan
Akal
6. Penutup
Berdasarkan semua uraian sebelumnya, hanya
asas (aqidah) ideologi Islamlah satu-satunya yang benar, sedangkan asas
ideologi sosialisme dan kapitalisme adalah rusak. Asas ideologi Islam dibangun
berdasarkan akal, amat berbeda dengan
ideologi sosialisme dan kapitalisme yang tidak dibangun berlandaskan akal. Di
samping itu, asas ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga
mudah diterima oleh manusia. Sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme
berlawanan dengan fitrah manusia.
Kritik ini adalah kritik yang berdasarkan bukti
rasional-faktual (dalil aqli). Di samping itu, kebatilan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme juga
dapat juga didasarkan pada dalil naqli, yakti bahwa keduanya adalah
ideologi kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala
sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang
diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan.
Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara)
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.” (TQS Al Maaidah :
44)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…”: (TQS An Nisaa` : 60) [
]
Bahan Bacaan :
‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh
Al Isytirakiyah Al Marksiyah, tp, Al Quds
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, Darul
Bayariq, Beirut
Abdullah, Muhammad Husain, 1994, Mafahim Islamiyah, Darul Bayariq,
Beirut
Al Qashash, Ahmad, 1995, Usus
An Nahdhah Ar Rasyidah, Darul Ummah, Beirut
An
Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhamul Islam, tp, Al Quds
An Nabhani, Taqiyuddin, 1994, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz I,
Darul Ummah, Beirut
‘Athiyat, Ahmad, 1996, Ath
Thariq, Darul Bayariq, Beirut
Az Zain, Samih Athif, 1983, Thariq
Al Iman, Darul Kitab Al Lubnani, Beirut
Ismail, Muhammad Muhammad,.
1958, Al Fikru Al Islami, t.p, Kairo
Shalih, Hafizh, 1988, An Nahdhah, Darun Nahdhah Al Islamiyah,
Beirut
1 Comments