PLURALISME : Agama Global dan Kesatuan Transenden
Pluralisme didefinisikan
sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam –agama, kebudayaan,
peradaban, dan lain-lain. Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham
yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa
golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan.
Merujuk pada definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang
menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil
society). Gellner juga menyatakan bahwa civil society merupakan ide yang
menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang
mampu mengimbangi kekuasaan negara.
Kemunculan ide
pluralisme –terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk
melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas,
radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan
antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan
dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi
menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari
cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok
pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya
agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara
yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas
agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global
religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal
transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih
dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang
sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan
yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua
ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah
Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.
Inilah gagasan-gagasan
penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia
Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama,
dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan
pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan
jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama
(murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi
prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para
penggagas paham pluralisme.
Argumentasi Para
Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya
Meskipun ide pluralisme
–baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden — ditujukan untuk
meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini
ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru
pula. Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta
pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, para pengusung
gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks
agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun
alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Surat al-Hujurat Ayat 13
Allah swt telah
berfirman;
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “[al-Hujurat:13].
Menurut kaum pluralis,
ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.
Koreksi:
Pada dasarnya, ayat ini
sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh
kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan
bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui
‘klaim-klaim kebenaran” (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan
peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa
Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang
ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum
Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan
umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama
global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya
pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain
Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Agar kita bisa memahami
makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali penjelasan para
mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.
Dalam kitab Shafwaat
al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia
diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as.
Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka.
Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar
mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih.
Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan
bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah
dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang
lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang
lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali
keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa
menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada
Allah.”
Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam
mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain.
Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Hanya
saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama
benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan
yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim
kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan
menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin
selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ(67)وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ(68)اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(69)أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(70)وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” [al-Hajj:67-71].
Ayat ini dengan tegas
menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama. Hanya
saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain
Islam. Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama selain
Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa
dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua
agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Di ayat yang lain,
al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah
agama Islam.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali Imron:19].
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron:85].
Pada tempat yang lain,
Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan
Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini
dengan sangat jelas.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ“Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah. Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.”[al-Baqarah:165].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [al-Taubah:30]
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [al-Taubah:31]
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” [al-Maidah:18]
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”[al-Maidah:72]
Ayat-ayat di atas –dan
masih banyak ayat yang lain– menyatakan dengan sangat jelas (qath’iy),
bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga
menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama
selain Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi
dan Nashraniy sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki
konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja,
karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari
konsepsi tauhid. Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama
yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk
empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash telah
menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan
Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan
terkesan dipaksakan.
Seandainya ide
pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun
orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah
menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum
Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di
dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. [al-Baqarah:111]
Dari seluruh uraian di
atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi
ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas
suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan
pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan,
nash-nash al-Quran jelas-jelas telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide
pluralisme.
Demikianlah, Islam sama
sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun
kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan
keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam
tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk
keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas
agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim)
agama selain Islam.
Adapun untuk memecahkan
masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang
jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan
pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan melenyapkan
identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama
(global religion).
Akhirnya, pluralisme
adalah paham sesat yang bertentangan ‘aqidah Islam. Siapapun yang mengakui
kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani
masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.
b. Islam Tidak
Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam
Ayat lain yang sering
digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [al-Baqarah:256]
Surat al-Baqarah ayat
256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka
menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam,
bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam
mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar
mengakui pluralitas (keragaman) agama.
Koreksi:
Sesungguhnya, ayat ini
tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya
berbicara pada konteks “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk
masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang
nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk
masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan
keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan
dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan
agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak
diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Imam Qurthubiy di dalam
Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada
ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan
dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam
Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak
boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah
terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu
lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Ayat ini tidak
berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis.
Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling
benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya
pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa
Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama
sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk
mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” [al-Hajj:67]
c. Surat al-Maidah :
69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering
digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka
menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam
mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans
yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[al-Maidah:69]
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [al-Baqarah:62].
Sesungguhnya, ayat ini
sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat
ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu
sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa
umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran
agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan
tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth
claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani,
Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa
pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk
masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab,
nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya
Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka.
Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada
pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha,
Hindu, Konghucu, dan lain-lain).
Untuk menafsirkan surat
al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:
Menurut al-Sudiy, ayat
ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabat-shahabatnya
(pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw
kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, “Mereka
mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi
bahwa Anda akan diutus oleh Allah swt sebagai seorang Nabi.” Tatkala Salman
selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk
ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal
ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh
terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia
selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap
berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak
memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa.
Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan
syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin
yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw
datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah
seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”
Imam Ibnu Katsir
menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan
surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang
merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa
tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang
diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai
dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad
diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan
konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.”
Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.
Dari uraian di atas
jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum
diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu
yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat
Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya,
maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi
Mohammad saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama –selain
Islam—yang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka
mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab
dan kaum musyrik –setelah diutusnya Mohammad saw—terkategori muslim, dan berhak
memperoleh pahala dari Allah swt.
Selain itu, pemelintiran
makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu
[al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan
sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad
ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi,
dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang
diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan
Ahmad]
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni ‘Isa as, sesungguhnya ia adalah
tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang
laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan
kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia
akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi,
mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam,
sedangkan ‘Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40
tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” [HR. Abu Dawud]
Al-Quran sendiri telah
memberikan predikat Ahli Kitab –Yahudi dan Nashrani—sebagai orang-orang
musyrik. Allah swt berfirman: “Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” [al-Taubah:31]. Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang
Yahudi berkata, “‘Uzair adalah putera Allah” dan orang Nashrani berkata,” Al
Masih putera Tuhan”.
Ayat ini menjelaskan
kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik,
bukan Muslim. Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan Nashrani yang
ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah
swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah
berfirman di dalam al-Quran:
“Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.”[al-Maidah:72].
“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu. Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih.” [al-Maidah:73]
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.”[Ali Imron:19]
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron:85].
Dari seluruh uraian di
atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat
59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.
d. Ayat Tentang
Kalimatun Sawa’
Para pengusung ide
pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun
sawa’.
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” [Ali Imron:64]
Para pengusung gagasan
pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama
langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang
sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen
berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu
memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa
tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah
ketuhanan. Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat
sawa’. Dengan kata lain, Islam pun pada dasarnya mengakui kebenaran konsep
ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Akhirnya, agama Yahudi,
Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke
surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut,
benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.
Untuk mengetahui makna
hakiki dari frase kalimat sawa’, kita dapat merujuk kepada ulama tafsir yang
lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam Ibnu
Katsir.
Menurut Ibnu Katsir,
frase “kalimat” di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk
menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu
adalah “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama, yang tidak ada perbedaan
antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata
“kalimat” yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang
dituju oleh frase “kalimatun sawaa’ sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat
tauhid, yaitu “allaa na’budu illaa Al-Allah” (hendaknya kita tidak menyembah
selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa’, yaitu kalimat
Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk
disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat
ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh
Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as.
Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.” [al-Nahl:36]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.["al-Anbiyaa':25]
Dari sini dapat
disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan
kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain
Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab
(baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana
yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as. Sebab, kaum Yahudi
dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Mereka telah
menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan
selain Allah swt. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dengan sangat
jelas. Allah swt berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [al-Taubah:31]
Walaupun ayat ini tidak
menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum Yahudi, dan ruhban
untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah memahami,
bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.
Dari sinilah bisa
dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar
mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan
tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak
Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan.
Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi
dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah
swt semata, dan mengikuti ajaran Mohammad saw.
Demikianlah, ayat ini
sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti
yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak
menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri
kaum Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul
kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti
yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as. Wallâhu a’lam bi al-shawâb
(Syamsuddin Ramadhan - Lajnah Tsaqafiyyah HTI).
*diambil dari data yang ada di PC.
0 Comments