Seorang Ibu mendapat kiriman makanan berkadar lemak tinggi dari tetangganya.  Ketika dihidangkannya makanan itu di meja makan, serentak anak-anaknya protes:  "Mama ini koq nggak toleransi sama papa, papa kan darah tinggi,
nggak boleh makan makanan seperti ini.  Toleransi dikit dong Ma!" Itulah toleransi dalam kehidupan keluarga.
Apakah toleransi semacam ini bisa kita kembangkan dalam keluarga yang besar,
yaitu kehidupan berbangsa.
Dapatkah antara ummat beragama saling bertoleransi?Bisa saja, bila toleransi itu adalah: mau melepas hak, tanpa melepas kewajiban.




Menjelang hari raya Natal, isu kerukunan ummat beragama sering santer lagi, dan themanya terfokus pada tuduhan extrem atas sebagian muslim yang tidak mau menghadiri perayaan Natal bersama, seakan-akan itu satu-satunya tolok ukur kerukunan antar ummat beragama.
Tulisan singkat ini ingin mencoba menjernihkan parameter-parameter yang kita butuhkan untuk menilai sejauh mana antar kelompok ummat beragama itu bisa kita nyatakan sebagai bisa hidup harmoni.
Taruhlah ada kelompok agama X dan Y, di mana Y bisa juga disebut "bukan X".  Masing-masing memiliki: kewajiban mengerjakan (wajib), kewajiban meninggalkan larangan (haram) dan hal-hal yang boleh sebagai hak, meski tidak wajib (sunnah-mubah-makruh).  Kewajiban dan hak ini tentu tidak 100% sama antar agama.  Kalau dibuat matrix relasi antara agama X dan Y, kita dapatkan tabel sbb:


Agama Y
Agama X
Wajib
Haram
Boleh
Wajib
//
i-i
p
Haram
i-i
//
pb
Boleh
p
pb
//

Maksudnya:
//  =      ada kesamaan (paralelitas) antar agama, kerjasama sangat harmoni.  Misalnya sama-sama kewajiban semua agama untuk memberantas kemiskinan, atau haram mencuri, atau boleh berolahraga.  Tidak ada masalah, selama hukum di kedua agama identis.

i-i  =     pernyataan kedua agama terhadap suatu hal bertolak belakang, kerjasama tidak mungkin.  Jadi di sini aturan suatu agama hanya dijalankan bagi pemeluknya masing-masing, agar tidak mengganggu kerukunan hidup bersama.  Misal:
- ummat Kristen wajib ibadah (misa) ke gereja.
- ummat Islam haram mengikuti misa.
Selama masing-masing ummat membiarkan ummat lain berjalan sesuai keyakinannya, maka tidak akan timbul masalah.
- ummat Kristen tidak dilarang misa ke gereja.
- ummat Islam tidak dipaksa hadir ke misa.

Untukmulah agamamu,
dan untukkulah agamaku
(QS. 109:6)

p  =      partisipasi mungkin, bila di suatu agama suatu perbuatan itu wajib, dan di agama lain boleh.  Misal:
- ummat Islam wajib merayakan Iedul Fitri (mereka tidak boleh puasa di hari tersebut).
- tidak ada pernyataan suatu lembaga resmi Kristen yang melarang ummatnya ikut merayakan Lebaran, karena hal ini dianggap tidak membahayakan aqidah Kristen.
Dengan demikian tidak ada masalah bila:
- ummat Islam mengundang ummat Kristen untuk ikut merayakan Lebaran.
- ummat Kristen tidak salah andaikata mereka menghadiri acara tsb ataupun tidak, karena hukumnya tidak wajib dan juga tidak dilarang.

pb  =   partisipasi bersyarat, yakni bila satu pihak bersedia melepas haknya, tanpa melanggar norma agamanya.  Misal:
- ummat Islam boleh makan sapi (tidak wajib).
- ummat Hindu haram makan sapi. 
Maka kedua ummat tetap bisa makan bersama, asalkan menunya bukan sapi.
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8)

Dengan memahami kedudukan hubungan ummat beragama ini, maka hendaknya kita (terutama ummat Islam) menanggapi suatu persoalan yang melibatkan unsur agama sesuai dengan proporsinya.
Jangan lantas karena harus menghadiri makan-makan bersama orang non Muslim kita lalu juga menghidangkan minuman keras (dengan dalih: yang hadir nggak cuma ummat Islam saja).  Ini jelas keliru.  Karena ummat Islam tidak cuma haram mengkonsumsi minuman keras, tapi juga haram menghidangkannya.  Dan apakah ada norma agama lain yang telah kita langgar?
Maka juga tidak layak kita membolehkan SDSB, Lotto atau Tombola dalam acara bersama, dengan dalih "Kan acara ini yang ikut tidak cuma orang Islam".  Apakah Non Muslim dibebani kewajiban melakukan SDSB, Lotto dan Tombola? 
Tapi justru karena acara itu bersama-sama ummat Islam, maka ummat Islam tidak boleh dipaksa untuk mendekati hal-hal yang haram.

0 Comments