Oleh: Meida Prefik Nugraeni
            Akhir-akhir ini, busana muslim makin diminati oleh para muslimah. Dari mulai atas kepala hingga bawah kaki, memiliki model dan corak yang bermacam-macam. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa sudah syar’i-kah pakaian yang kita gunakan? Sebelum menggunakannya, marilah kita mengetahui terlebih dahulu hakikat menutup aurat bagi muslimah.

Sudah banyak yang mengetahui bahwa menutup aurat itu hukumnya wajib. Akan tetapi, masih banyak yang belum mengetahui bagaimana cara menutup aurat dengan benar dan perbedaan dari beberapa istilah seperti jilbab dan kerudung. Padahal, sebagai seorang muslim perlulah untuk mengetahui perbedaan makna tersebut. Mengapa harus mengetahuinya? Sebab, bahasa arab dengan bahasa Indonesia sudah jelas berbeda. Oleh karena itu, mengapa kita penting untuk mengetahui perbedaan makna tersebut. Sebab, jika kita salah menyebutkan kata walau beda satu huruf saja maka maknanya pun akan berubah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِن
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya. (QS. An-Nûr: 31)

Ayat diatas menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali yang biasa tampak. Maksud ayat tersebut adalah janganlah para wanita menampakkan tempat-tempat perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dengan demikian, wanita harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangannya.

Dengan apa wanita harus menutupinya? Ternyata Al-Qur’an dalam Surah An-Nur ayat 31 diatas memberikan jawaban hendaknya wanita memakai kerudung (khimar). Kerudung adalah sejenis penutup kepala yang menutupi kepala sampai kedadanya. Orang Indonesia banyak yang salah kaprah menyebut kerudung ini dengan jilbab. Padahal ayat tentang jilbab ada tersendiri dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 59,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Ahzab: 59)

Jelas sekali dalam ayat ini bahwa jilbab bukanlah kerudung (khimar). Namun jilbab adalah semacam baju yang dipakai oleh wanita di waktu keluar rumah seperti jubah yang lebar (tidak menampakkan lekuk tubuh), tidak tipis/transparan (menutup warna kulit) yang panjang menjulur mulai dari leher sampai menutupi telapak kaki (irkhâ’). Dalam kamus al-Muhîth dinyatakan,

Jilbab itu adalah seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita tanpa baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.

Sedangkan dalam kamus ash-Shihhâh, al-Jawhârî menyatakan:

Jilbab adalah milhâfah (mantel/jubah) dan yang sering disebut mulâ’ah (baju kurung).

Di dalam hadits, kata jilbâb dinyatakan dalam makna al-mulâ’ah (baju kurung) yang dikenakan oleh wanita sebagai penutup di sebelah luar pakaian kesehariannya di dalam rumah. Dari Ummu ‘Athiyah RA, ia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para wanita, yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Wanita-wanita yang sedang haid, mereka memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR Muslim).

Ummu Salamah menuturkan, Rasulullâh Saw. pernah bersabda (yang artinya): "Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaiannya?" Nabi saw. menjawab, "Ulurkan sejengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, kaki mereka kelihatan." Nabi saw. menjawab, "Hendaknya mereka mengulurkannya sehasta dan jangan ditambah lagi." (HR al-Bukhari).

Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa pakaian luar (jilbab), yakni mulâ’ah atau milhafah yang dikenakan di luar pakaian sehari-hari, diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua telapak kaki. Maka, meskipun kedua kaki wanita telah ditutupi dengan kaus kaki atau sepatu, akan tapi tetap harus mengulurkan jilbabnya ke bawah hingga jelas menunjukkan adanya irkhâ. Tidak ada gunanya menutup kedua kaki yang sudah tertutup dengan kaus kaki atau sepatu. Akan tetapi, di sana harus ada irkhâ, yaitu jilbab harus diturunkan (diulurkan) sampai ke bawah secara jelas sehingga dapat diketahui bahwa pakaian tersebut adalah pakaian untuk kehidupan umum yang wajib dikenakan oleh wanita di kehidupan umum, dan tampak jelas dalam jilbab itu adanya irkhâ, sebagai realisasi firman Allah SWT: ‘yudnîna’, yang berarti yurkhîna (mengulurkan).

Dengan demikian, jelaslah bahwa wanita wajib mengenakan pakaian yang longgar di atas pakaian kesehariannya dalam rangka ke luar rumah. Jika ia tidak memilikinya, sementara ia ingin keluar, hendaklah ia meminjam kepada saudaranya atau wanita Muslimah mana saja yang bersedia meminjaminya. Jika tidak ada yang meminjaminya, ia tidak boleh keluar rumah sampai pakaian tersebut didapatkannya. Jika ia keluar rumah tanpa mengenakan pakaian longgar yang terulur hingga ke bawah, maka ia berdosa, meskipun ia telah menutupi seluruh auratnya. Sebab, mengenakan baju longgar yang terulur sampai ke bawah hingga menutup kedua kaki adalah wajib. Jika tidak, maka wanita tersebut telah menyimpang dari kewajiban ini dan berdosa di sisi Allah Swt.


Jadi, baju yang dipakai wanita dalam rangka menjaga kehormatan mahkota wanita adalah kerudung (khimar) dan jilbab. Jangan sampai salah lagi karena keduanya berbeda. Kemudian, jika sudah menggunakan kerudung dan jilbab apakah sudah cukup? Belum,masih ada satu lagi yaitu tidak boleh tabarruj. Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan mahram. Jadi, jika dikatakan bahwa seorang wanita bertabarruj, maka berarti telah menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan mahram. Begitulah perintah Allah Swt. untuk memuliakan wanita muslim dengan cara menutup auratnya. Maka marilah dimulai saat ini juga untuk memperbaiki niat dalam berjilbab dan berkerudung. Juga menutupnya sesuai dengan perintah-Nya. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb

0 Comments