Sumpah Pemuda?
Sumpah
Pemuda adalah salah satu buah dari nasionalisme. Taqiyuddin an-Nabhani dalam
Nizhamul Islam menyatakan bahwa ikatan nasionalisme atau ikatan kebangsaan
adalah ikatan yang rapuh. Ikatan ini didasarkan pada asas manfaat, yaitu ketika
sebuah komunitas bersatu disebabkan adanya serangan dari pihak luar komunitas.
Persatuan semacam ini bersifat lemah. Munculnya persatuan itu hanya karena
adanya ancaman yang mengganggu kedaulatan. Namun jika tidak ada ancaman,
ikatannya tidak ada.
Dalam
konteks historis, kemunculan Sumpah Pemuda dilatarbelakangi karena adanya
ancaman yang datang dari pihak luar, dalam hal ini adalah pemerintah Kerajaan
Belanda. Nasionalisme (dengan segala macam wujudnya) juga terlihat pada kasus
sepak bola. Persatuan rakyat Indonesia terlihat begitu kokoh ketika Timnas
Indonesia melawan Timnas sepak bola dari negara lain. Semua orang bersatu,
melupakan sejenak persoalan yang melilit mereka. Kenapa? Karena mereka
menghadapi "ancaman" yaitu serangan bola dari Timnas sepak bola dari
negara lain.
Namun,
selepas pertandingan sepak bola tersebut, nasionalisme atau persatuan itu
lenyap seiring dengan menguapnya keringat di kaos Garuda Muda. Rakyat dan
pemerintah kembali berseteru, mempersoalkan kebijakan-kebijakan penguasa yang
tidak pro rakyat.
Inilah
hakikat nasionalisme. Ikatannya begitu rapuh. Tidak cocok untuk mengikat
manusia, termasuk bangsa Indonesia. Terlebih, bagi pemuda Indonesia. Ikatan
paling kuat dan kokoh, justru datang dari ikatan akidah Islam. Bahkan ikatan
ini mampu meruntuhkan ikatan nasab sekalipun.
Adalah
Muhayyishah bin Mas’ud dan Huwayyishah bin Mas’ud. Muhayyishah telah memeluk
Islam, sedangkan Huwayyishah belum. Ketika Nabi saw. memerintahkan kepada
Muhayyishah untuk membunuh Ka’ab bin Yahuza, salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah, dia pun segera membunuhnya. Setelah itu saudaranya yang masih kafir
mendatanginya seraya berkata:
“Kamu sanggup membunuh Ka’ab bin Yahuza. Demi Allah, apa yang kamu makan itu berasal dari hartanya. Kamu ini celaka, tidak tahu balas budi, wahai Muhayyishah.”
Muhayyishah
kemudian berkata:
“Saya telah diperintahkan untuk membunuhnya oleh orang, yang jika memerintahkan saya untuk membunuh kamu pun, pasti kamu akan saya bunuh.”
Hawayyishah
lalu berkata:
“Demi Allah, agama yang sampai pada kamu ini memang menakjubkan.”
Setelah
itu, Huwayyishah pun memeluk Islam.
=====================================================
Jadi,
masihkah menjadikan nasionalisme (beserta derivatnya) sebagai ikatan pemersatu?
-Ust. Agus Trisa-
0 Comments