Bagaimana Menyikapi Kelompok Sempalan?
Soal: Di tengah-tengah masyarakat kita saat ini banyak terdapat kelompok-kelompok keagamaan, yang sebagiannya dipandang sempalan dan sesat. Bagaimana sesungguhnya Islam menyikapi persoalan ini?
Jawab: Untuk menjawab bagaimana Islam menyikapi
kelompok sempalan, yang harus dibahas terlebih dulu adalah, siapa sesungguhnya
yang masuk dalam kategori kelompok sempalan dalam pandangan Islam?
Harus diakui, bahwa ajaran Islam bisa dipahami secara
beragam oleh pemeluknya. Keberagaman paham tersebut sesungguhnya terbentuk
karena adanya dua faktor, yang sama-sama dibenarkan di dalam Islam. Pertama:
faktor nash—baik al-Quran maupun as-Sunnah—yang memiliki lebih dari satu makna
(double meaning), yang biasanya disebut oleh ahli ushul dengan istilah dzanni.
Kedua: faktor intelektual, yang berpotensi untuk memahami nash secara berbeda.
Kedua faktor tersebut pada dasarnya akan bertemu pada aspek yang bersifat
dzanni, tetapi tidak dalam perkara yang qath’i. Memang, antara satu ulama
dengan ulama lain berbeda dalam mengidentifikasi, mana nash yang qath’i dan
mana dzanni. Sekalipun demikian, pada tataran definisi, atau batasan nash yang
qath’i, mereka tidak berbeda pendapat. Bisa dikatakan, semuanya sepakat, bahwa
nash yang qath’i adalah nash yang hanya memiliki satu makna.
Dari nash yang dzanni inilah kemudian berkembang
ikhtilâf (perbedaan pendapat). Mula-mula ikhtilâf muncul dalam masalah hukum,
yang kemudian melahirkan banyak mazhab fikih. Setelah terjadinya Fitnah Kubra
(peristiwa terbunuhnya ‘Utsman), ikhtilâf memasuki wilayah politik. Dari sana
lahir beberapa kelompok seperti Syiah, Sunni, Khawarij, dan Murjiah. Setelah
masuknya pengaruh filsafat di dalam tubuh umat Islam, perbedaan tersebut
kemudian memasuki wilayah akidah sehingga melahirkan banyak firqah kalâmiyah (kelompok
kalam). Semuanya, meminjam istilah Syaikh Abu Zahrah, masih disebut sebagai
madzâhib islâmiyyah (mazhab-mazhab Islam), baik madzâhib fiqhiyyah, siyâsiyah,
maupun i’tiqâdiyah. Dari mazhab yang terakhir (madzâhib i’tiqâdiyah) inilah
kemudian berkembang istilah al-firâq al-mubtadi‘ah (kelompok ahli bid’ah).
Mereka itu adalah Muktazilah dan Jabariah. Di samping itu, karena Syiah,
Khawarij, dan Murjiah juga membahas persoalan akidah dengan pendekatan
mutakallimin—meski persoalan tersebut bukan merupakan isu sentral mereka—maka
mereka juga masuk ke dalam kategori al-firâq al-mubtadi’ah. Mereka kemudian
dipilah lagi: ada yang bid’ahnya sampai menjerumuskannya dalam kekafiran
sehingga disebut mukaffirah (yang dinyatakan kafir); ada yang tidak sampai
menjerumuskannya dalam kekufuran. Mereka inilah yang disebut ghayra mukaffirah
(yang tidak dinyatakan kafir).
Klasifikasi ini tentu membawa konsekuensi hukum bagi
para penganutnya, termasuk kategori kelompok Islam dan tidak, atau yang kini
dipopulerkan dengan istilah kelompok sempalan. Istilah sempalan, sebenarnya
berasal dari bahasa Jawa, yaitu sempal yang berarti lepas, dari pangkalnya.
Karena itu, penggunaan istilah kelompok sempalan lebih tepat digunakan untuk
menyebut kelompok yang sudah keluar dari kategori Islam. Dalam pembahasan
akidah, sekalipun kelompok kalam masuk dalam kategori ahli bid’ah (karena tidak
mengikuti metode pembahasan Nabi saw.), mereka tidak bisa dimasukkan sebagai
kelompok sempalan. Karena itu, al-Ghazali tetap mengatakan mereka Muslim, dan
pendapatnya pun masih dianggap sebagai pendapat Islam. Dalam hal ini, kesalahan
mereka, kata al-Ghazali, statusnya sama dengan orang yang salah dalam
berijtihad (mahalluhum fi mahalli al-ijtihâd). Tentu saja, kategori ini berlaku
untuk kelompok kalam yang bid’ahnya tidak sampai menjerumuskan mereka ke dalam
kekufuran.
Adapun untuk kelompok yang bid’ahnya telah
menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran, statusnya jelas bukan Muslim, dan
tidak masuk dalam kategori kelompok Islam. Contohnya adalah: Ismailiyah,
Batiniyah, dan Qaramithah dari sekte Syiah; Ahmadiyah; Bahaiyah; dan
sebagainya. Mereka ini bisa disebut kelompok sempalan, bukan kelompok Islam.
Selain itu, ada kelompok lain yang dengan jelas telah dinyatakan kafir oleh
al-Ghazali, yaitu kelompok filosof Muslim. Kelompok ini juga bisa dikategorikan
sebagai kelompok sempalan, bukan kelompok Islam. Nah, sekarang apa ukurannya,
sebuah kelompok dikatakan sempalan, atau tidak? Ukurannya kembali pada
pandangan dan pemikiran yang dianutnya. Islam, misalnya, telah menetapkan
sejumlah pemikiran dasar, baik yang kemudian disebut rukun Islam, rukun iman,
maupun sejumlah pemikiran yang dinyatakan oleh dalil-dalil yang qath’i. Jika
ada kelompok yang mengklaim sebagai kelompok Islam, tetapi pandangan dan
pemikirannya bertentangan dengan sejumlah pemikiran dasar di atas, maka
kelompok tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kelompok Islam.
Kalau kemudian di dalam negara Khilafah ada kelompok
seperti ini, bagaimana langkah-langkah negara untuk menanganinya? Pertama:
Negara harus melakukan itsbât (mengambil keputusan tetap), bahwa kelompok
tersebut dinyatakan telah keluar dari Islam, setelah melakukan sejumlah
pembuktian, dengan bukti-bukti yang qath’i, sebagaimana sabda Nabi saw.:
عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
Dimana kalian mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan di
sisi Allah, tentang kekufurannya.
Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka vonis
kafir atau murtad bisa dijatukan pada kelompok tersebut.
Kedua: Negara harus meminta mereka untuk bertobat,
agar kembali ke pangkuan Islam. Caranya, bisa dengan dilakukan debat
intelektual (wa jâdilhum billati hiya ahsan), dengan meruntuhkan apa yang
sebelumnya menjadi keyakinannya, kemudian membangun keyakinan yang baru
terhadap Islam. Kalau ini tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan memberikan
mau’izhah wa tadzkîr (nasihat dan peringatan), termasuk mengingatkan akan
konsekuensi dari masing-masing pilihan yang diambilnya. Inilah yang ditempuh
oleh Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk melakukan debat dengan
Khawarij sehingga sebagian besar di antara mereka akhirnya insyaf dan kembali
ke pangkuan Islam. Ketika Musailamah al-Kadzdzab muncul pada tahun ke-10 H,
Rasulullah tidak langsung memeranginya, melainkan memberinya peringatan melalui
surat, yang beliau kirimkan kepada Musailamah1. Ketiga: Jika cara yang kedua
gagal, Negara akan memerangi mereka. Khususnya, mereka yang tetap bertahan
dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, mereka diperangi sebagai ahl ar-riddah
(orang murtad). Setelah Musailamah diberi peringatan oleh Rasulullah saw.,
tetapi dia tetap bergeming, kemudian setelah itu Rasulullah saw. wafat, maka
Abu Bakar ash-Shiddiq melanjutkan misi Rasulullah saw. dengan memerangi
kelompok Musailamah2. Abu Bakar juga telah memerangi kelompok ahl ar-riddah yang
lain, termasuk mereka yang menolak membayar zakat. Ketika itu, Umar menolak
tindakan tersebut seraya mempertanyakan, “Bagaimana mungkin Anda akan memerangi
orang, sementara Rasulullah saw. bersabda, ‘Aku akan memerangi orang-orang itu
hingga mereka menyatakan Lâ ilâha illâ Allâh. Siapa yang menyatakan: Lâ ilâha
illâ Allah, berarti diri dan hartanya telah terbebas dariku, kecuali dengan
cara yang haq, dan hisabnya diserahkan kepada Allah’?”
Akan tetapi, Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku
memerangi siapa saja yang memisahkan antara (kewajiban) shalat dan zakat,
karena zakat itu merupakan hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, kalau
mereka menolak membayar kepadaku, mereka pasti akan membayarnya kepada
Rasulullah…” Umar berkomentar, “Demi Allah, aku hanya menyaksikan, bahwa Allah
telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan peperangan tersebut. Aku pun
tahu, bahwa dia memang benar3.”
Dalam riwayat lain, salah satu nash yang menjadi
pegangan Abu Bakar ash-Shiddiq adalah firman Allah:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ
بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan
mengingkari adap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada
Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85)
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. (Hafidz Abdurrahman) []
Catatan kaki:
1 Lihat, Abu
Rabi’ al-Kala’i, Al-Iktifâ’ bi Mâ Tadhammanahu min Maghâzi Rasûlillâh, II/424.
2 Lihat: Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah, Zâd al-Ma’âd, III/584.
3 Lihat:
Al-Kala’i, Op. Cit., III/8.
0 Comments