Bagaimana Menyikapi Perbedaan Mazhab?
Soal:
Bagaimana menyikapi perbedaan mazhab
di antara sesama Muslim? Sejauh manakah perbedaan mazhab yang dibenarkan, dan
tidak?
Jawab:
Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas
Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum
syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik.1Dari
perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.
Dalam perkembangannya, istilah mazhab
juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik.
Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib
al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi.2 Lebih
jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari
mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab
politik, seperti Syiah dan Khawarij;3 bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan
Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah),
Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.4 Adapun mazhab fikih adalah
seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan
Ja‘fariyah.5
Meski demikian, tetap harus dicatat,
bahwa sekalipun mazhab Islam tersebut banyak, bukan berarti umat Islam tidak
lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik. Sekali lagi, tidak demikian.
Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah
akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan faktual dan syar‘i.
Secara faktual, potensi intelektual
yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan
perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik
kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi
ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi—yang nota bene
berbahasa Arab—mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor
ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syar‘i, dilihat dari
aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti
al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk
konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya
untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang
zhanni. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah
tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya
tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam
konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang
maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa disimpulkan,
bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu,
merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut
bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas
syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan
metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam
tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan
keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut
lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung
diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok
secara simultan.
Islam, misalnya, menetapkan sejumlah
kaidah dan ketentuan:
1. Dalam konteks nas-nas syariah yang
qath‘i tsubut dan qath‘i dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang
maknanya qath‘i, baik dalam masalah akidah maupun hukum syariah, atau ushûl dan
furû‘, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Dengan kata lain, berbeda pendapat
dalam konteks ini hukumnya haram.
2. Berbeda pendapat dibolehkan oleh
Islam dalam konteks nas-nas syariah yang zhanni, baik dengan qath‘i tsubût
dengan zhanni dilâlah, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir yang maknanya
zhanni, maupun zhanni tsubût dengan qath‘i dilâlah, seperti Hadis Ahad yang
bermakna qath‘i.
3. Pemultitafsiran (ta’wîl) nas-nas
syariah tetap dibolehkan, tetapi harus dalam koridor dilâlah yang ditunjukkan
oleh nas serta sesuai dengan kaidah dan metode memahami dan istinbâth yang
dibenarkan oleh syariah.
4. Pandangan yang dihasilkan oleh
semua mazhab dianggap benar, dengan catatan tetap mempunyai potensi salah.
5. Mengikuti pandangan mazhab
tersebut tidak dalam kerangka untuk memastikan seratus persen pandangan
tersebut benar dan salah, melainkan dalam kerangka tarjîh dan ghalabat zhann.
Dengan kata lain, kita mempunyai dugaan kuat, bahwa hukum yang kita ambil dan
ikuti dalam masalah tertentu adalah hukum Allah bagi kita, dan juga orang yang
menyatakannya, terlepas dari siapa yang menyatakannya. Namun, jika kemudian
terbukti salah, hukum itu pun dianggap marjûh dan lemah sehingga ketika itu
harus ditinggalkan.
Itulah, mengapa semua mazhab Islam
tersebut pada dasarnya mazhabnya satu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bahkan
tidak satu pun di antara mereka mengklaim dirinya, kecuali dengan menyatakan:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَPendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar.
Mereka pun saling memuji satu sama
lain; mereka saling menerima alasan dan argumentasi satu sama lain. Yang yunior
menggambarkan yang senior sebagai bintang dan tetap bersikap tawadhu‘ terhadap
seniornya. Sikap-sikap ini dan juga sikap serupa yang lainnya telah menerangi
pikiran dan menguatkan ikatan batin mereka. Namun, sikap ini tidak lagi
diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun mereka tutup. Mazhab pun
dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan
membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap
fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya
monumen.
Tindakan memonumenkan fikih dan
fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar,
sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat,
sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme
mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau
menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya,
muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap
inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut
mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syafii
pada masa lalu.
Realitas ini hingga kini pun masih
terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit seperti ini
diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.
Satu-satunya solusi untuk
menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan memposisikan fikih dan fuqaha’
pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan
diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun
fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing
adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan
selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika
kemudian terbukti salah.
Pada titik inilah as-Suyuthi menyatakan:
Aneh, ada orang yang
mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang
menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan
kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian
fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari
perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut benar-benar telah
terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu
pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga
menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. 6
Para Sahabat—ridhwânullâh
‘alayhim—adalah fuqaha’ pertama, bahkan penghulu para fuqaha’. Terhadap mereka,
Rasulullah menyatakan:
أَصْحَابِي كَالنُّجُوُمِ، بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ، اِهْتَدَيْتُمْPara Sahabatku bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka kalian ikut, maka pasti kalian akan mendapatkan petunjuk. (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib)7
Demikian halnya dengan fuqaha’
setelah mereka. Mereka bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka, jika
kita ikuti, maka kita pun insya Allah akan mendapatkan petunjuk. Tentu, selama
mereka berpegang teguh dan terikat kepada syariah.
Pandangan inilah yang terbukti telah
menyatukan umat Islam dan tetap menjadikan loyalitas seorang Muslim hanya
kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan yang lain. Karenanya, perbedaan di kalangan
fuqaha’ adalah rahmat dan memudahkan umat. Jika perbedaan tersebut diposisikan
pada posisinya yang sahih hingga bisa memerankan peranan yang positif dan
sehat, pasti perbedaan mazhab tersebut akan menghasilkan kekayaan intelektual
dan syariah, yang justru menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi setiap Muslim.
Wallâhu a‘lam. [Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam
Lughat al-Fuqaha’, ed. Dr. Hamid Shadiq Qainabi, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet.
I, 1996, hlm. 389.
2 Prof. Dr. Abu Zahrah, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah fi as-Siyasah, wa al-‘Aqaid wa Tarikh al-Fiqh
al-Islami, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, t.t., hlm. 3.
3 Ibid, hlm. 32 dan 58.
4 Ibid, hlm. 96-194.
5 Ibid, hlm. 345-698.
6 Lihat: As-Suyuthi, dalam Jazil
al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Madzahib, hlm. 21-23.
7 Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Lisan
al-Mizan, Mu’assasah al-A’la li al-Mathbu’at, Beirut, juz II, hlm. 118, 137 dan
312.
0 Comments