Jilbab Untuk Mama
Oleh: Meida Prefik Nugraeni

“Nah, jadi sekarang sudah tahu kan kalau jilbab dengan kerudung itu berbeda?” kata Teh Ferni dengan senyum manisnya. Setelah mendengar hal itu, kami hanya mengangguk tanda mengerti.
Tepat pada pukul 4 sore, mentoring pun selesai. Materi yang aku dapatkan kali ini mengenai jilbab. Diperjalanan pulang, aku dan teman sementoringku sebut saja Sheryl dan Nurul membicarakan apa yang telah didapatkan sore ini. Jilbab, suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Kami sudah mengerti dan paham tentang itu, akan tetapi hati kami masih belum bisa menerimanya. Bagaimana cara kami untuk taat padaNya? Kami belum pakai jilbab, berarti selama ini kami belumlah berpakaian secara syar’i?
Pertanyaan itu terus saja menghantui dipikiranku. Bagaimana bisa aku menggunakan jilbab ke sekolah? Bukankah itu akan melanggar aturan sekolah? Mendapatkan materi ini bukannya menjadikan hati ini tenang, justru malah membuat hati menjadi gundah. Karena aku baru tahu, bahwa ternyata selama ini cara berpakaianku belumlah benar. Akan tetapi, aku mencoba untuk meminimalisir perasaan gundahku ini. Aku tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.
Setelah satu minggu terlewati, Teh Ferni menanyakan kepada kami “Bagaimana dik? Sudahkah kita sami’na wa atha’na?”. Sepintas hati kami kembali merasakan kegundahan. Serentak kami pun menjawab, “Belum teh..”.
Mendengar jawaban itu, The Ferni kembali mengeluarkan senyumnya dan menawarkan apakah kami benar-benar ingin menggunakan jilbab atau tidak? Tentu saja kami jawab dengan antusias, “Ya!! Kami mau. Tapi, bagaimana?”.
Terjadilah penawaran itu menjadi peminjaman jilbab, persis seperti kisah para wanita Anshar yang langsung mencari kain untuk dijadikannya jilbab. The Ferni mengeluarkan beberapa jlbab seragam yang menurutnya seukuran dengan badan kami.
Kami mencoba mengenakan jilbab seragam itu dibalik hijab (penghalang) masjid yang biasa dipakai ketika rapat. Namun ternyata, jilbab yang kami coba sama sekali tidak muat. Jilbab itu terlalu kecil atau badan kami yang terlalu besar?
Akhirnya, kamipun saat itu langsung bertekad untuk menggunakan jilbab seragam. Entah bagaimanapun caranya, kami haruslah melaksanakan perintah Allah secepatnya.
Esok harinya, dengan modal nekad dan uang jajan yang biasa disisakan itu kami pun membawa seragam putih-abu cadangan untuk disambungkan. Dengan melihat contoh jilbab seragam yang digunakan oleh Teh Ferni, kami berjalan menuju tempat jahit yang ada di Cibadak. Toko Satria namanya.
Ketika kami meminta untuk disambungkan, bapak penjahit itu langsung mengerenyutkan dahinya yang hampir keriput itu. “Untuk apa neng disabumbungin segala? Jadi kayak gamis ini teh? Atuh susah masuk kebadannya kalau gini mah neng. Soalnya ukuran lingkaran pinggang sama atasannya beda.” kata bapak penjahit itu heran. Kamipun hanya tersenyum kecil dan berkata dalam hati, iya juga sih pak bakalan susah. Tapi pasti bisa deh. In sya Allah.
Tak perlu menunggu lama, akhirnya jilbab pertamaku pun sudah jadi. Senang rasanya. Waktu itu, harganya hanya lima ribu rupiah. Akupun membayarnya dan lekas pergi dari tempat jahit tersebut. Ketika langkah kami hampir menuju pintu keluar. Terdengarlah suara bapak-bapak itu menertawakan apa yang sudah kami lakukan. Ya mungkin itu pertama kalinya diminta untuk menyambungkan seragam menjadi jilbab. Kamipun cuek saja dan tetap memasang wajah ceria karena sudah punya jilbab seragam.
“Besok jangan lupa ya.. kita pakai jilbab seragam pertama kita!” kataku menyemangati sambil berpamitan pulang.
Setelah sampai dirumah, akupun langsung mencoba jlbab seragam itu. Benar saja apa yang dikatakan oleh bapa penjahit itu. Susah masuk. Ya, aku kesulitan untuk mengenakan jilbab tersebut. Akan tetapi, setelah susah payah dan membuat telinga memerah dan rasanya agak panas karena tergores-gores kain jilbab yang sempit. Akhirnya akupun mendapatkan cara yang unik untuk mengenakan jilbab seragam itu agar tidak sakit. Tak perlulah aku jelaskan bagaimana caranya. Bagiku hanya aku dan Allah yang tahu bagaimana caranya. hehe
***
Hari Jumat, itulah hari pertamaku menggunakan jilbab. Orangtua belumlah ngeuh kalau aku sudah menggunakan jilbab. Awalnya memang aku agak takut ketahuan dan takut dimarahi. Makanya aku berangkat sekolah lebih awal agar tidak begitu terlihat.
Ada perasaan yang berbeda. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa lebih tenang dan damai ketika keluar rumah sudah mengenakan jilbab. Sudah melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah. Alhamdulillah… J
Bersambung..

0 Comments