Bandung, March 7, 2014
Tadi pagi, usai mencuci pakaian. Waktunya untukku MU (mutabaah). MU kali ini, aku mau presentasi tentang kitab nidzam. Kenapa kok balik lagi sih? Ya karena aku ingin lebih menguasai kitab nidzam. Soalnya waktu aku masih SMA, aku mengkaji kitab nidzamnya lebih sering dalam keadaan tidak sadarkan diri. Haha maksudnya aku ngantuk. Karena halaqahnya waktu itu pulang sekolah, sore sekali. Yang terkadang kita semua dalam perhalaqahan tidur tanpa sadar. Yah namanya juga anak SMA yang baru seumur biji jagung, masih mengandalkan semangat tanpa pemikiran ataupun sense of belonging. *aduh apaan tuh? Gak tau aku juga*.

Perjalanan menuju kostan musyrifah. Aku sengaja untuk melewati jalan tikus. Dengan mengingat-ingat belokan, akhirnya aku salah jalan. Aku justru keluar di gang kecil Masjid Nurul Falah. Salah jalan kan. Beruntung. Gak terlalu jauh dari kostan. Jadi bisa langsung menyipang masuk ke gang lain lagi.

Bergegaslah aku naik tangga menuju kamar musyrifah. Eh, ditangga udah ada musyrifahku yang berdiri tegak sambil memegang sebuah handphone. Aku kagetlah. *Lihat jam tangan* Aku memang udah telat 10 menit. Tapi ternyata, musyrifahpun bilang juga baru selesai halaqah. Jadi aku bisa aman. Wkwk


Ketika MU dimulai, niatnya sih mau langsung presentasi kitab. Tapi kita ya ngobrol aja dulu santai. Musyrifah memperlihatkan majalah al-wa’ie edisi terbaru. Beliau menceritakan kisah seseorang yang antipati kepada amir hizb ketika berada dalam penjara. Yang akhirnya, hati pembenci menjadi luluh karena perbuatan yang dilakukan oleh amir hizb –Syeikh Atha Abu Rasthah–. Sudah pernah baca? Aku rekomendasikan baca ya.. di web juga ada kok. Kalau gak salah judulnya itu persahabatan dalam penjara. *kalau gak salah yaa*.

Inti dari pesan yang dapat aku ambil yaitu, kebanyakan dari umat sebenarnya setuju dengan ide yang diopinikan oleh hizb. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang tidak suka dengan hizb karena ulah para syabab/syabahnya. Disinilah yang menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk senantiasa memperbaiki nafsiyah kita. Jangan sampai umat menjadi antipati terhadap Islam karena ulah kita sebagai pengemban dakwah yang dianggap sepele.

Akhirnya aku curhat kan. Aku bercerita soal kejadian kemarin ketika dikelas. Aku sangat menyesal dengan apa yang telah aku katakan. Waktu itu, sedang berlangsung mata kuliah fiqh muamalah. Ada kelompok yang kebetulan mendapat bagian untuk presentasi. Materi yang disampaikannya itu Mudharabah, Murabahah dan Syirkah. Dosennya tidak berkenaan hadir karena sedang sakit. *Semoga Allah memberikan kesembuhan. Aamiin*

Amat disayangkan, kembali terulang. Presentasinya diterangkan dengan duduk dan membaca slide dari A-Z. Suatu hal yang membuatku rada jengkel. Kenapa? Karena kalau kayak gitu caranya, audiens juga bisa baca sendiri. Akhirnya, audiens nggak terlalu paham kan dengan materi yang disampaikan. Karena tak ada penjabaran contoh dari materi yang dibahas. Aku hanya duduk terdiam dan tidak ikut berpartisipasi. Alasannya, karena aku memang lagi flu berat. *hidung gak enak, mata panas, pusing, mual*. Kemarin itu hari yang kedua aku hanya terdiam dan memantau.

Sesi tanya jawab pun dimulai. Satu persatu, tangan-tangan mulai menampakan keadaannya kearah moderator. Dari sekian banyaknya pertanyaan, pemateri memberikan jawaban yang kurang memuaskan. Banyak bercandanya, jadi gak serius. Tambah BT-lah aku disitu. Sudahlah mata kuliah ini yang paling aku tunggu-tunggu kedatangannya. Aku butuh materi ini dengan sebaik mungkin. Malah banyak bercanda dan berisik. Akhirnya aku angkat bicara dengan wajah lurus tanpa ekpresi, “pemateri itu punya tanggung jawab untuk memahamkan audiens. Kalau kita gak paham, itu tanggung jawab kalian loh.”.

Astaghfirullahal ‘adziim… ketika aku bicara seperti itu, ada getaran dingin dalam hatiku yang membuatku merasa sangat tertekan, sesak dan merasa bersalah luar biasa!!! *ini asli gak lebay dan gak bohong. Kayak kena aliran listrik*. Apa yang sudah aku katakan? Terus-menerus aku ucapkan istighfar. Teman-teman dikelaspun ikut angkat bicara “Ya kita kan sama-sama belajar”, “Don’t judge the book by the cover”, “Halag.. Nah loh.”, bla bla bla. Itu kata-kata yang aku ingat ketika itu.

Aku tetap hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak bersalah. Duduk didepan laptop yang menyala sambil melanjutkan membaca ebook. Tapi hatiku sedang bergejolak saat itu. Aku mencoba tenang untuk menahan baqa yang sedang tinggi.

Ada salah satu teman dikelas yang bicara, “Mana Meida kok diam aja. Tumben udah dua hari gak bicara dan tanya.”. Ada yang menjawab dengan suara lirih, “Lagi sakit kan”. Lagi-lagi aku hanya diam tak peduli dan ingin menangis.

Eh iya juga ya, aku udah dua hari ini diam membisu. Gak ikut berpartisipasi dalam diskusi. Gak bertanya ataupun menambahkan. Mana Meida??

Setelah presntasi berakhir, pemateri meminta maaf atas kekurangannya. Kata-katanya panjang, aku gak ingat. Tapi aku makin merasa bersalah. Aku sama sekali gak berniat demikian, nggak! Naudzubillah.. aku hanya berniat mengatakan bahwa seharusnya sebagai pemateri tidak seperti itu.

Akhirnya, ketika suasana mulai mendingin. Aku gak berani melihat mata-mata teman dikelas. Aku hanya focus, mana dan kapan waktu yang tepat untukku meminta maaf. Aku pergi ke WC untuk membasuh wajah. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengatakan maaf dan menjelaskan bahwa yang aku maksud bukanlah seperti itu.

Namun ternyata, ia memeluk aku dan meminta maaf juga. Aku sangat terharu. Aku begitu bodohnya mengatakan sesuatu hal yang membuat orang sakit hati. Diamku salah, bicaraku merusak keadaan. Huaaaa…. Keadaan emosi sedang tidak stabil.

Akhirnya aku cerita ke musyrifah sampai menangis. “Teteh, salahkah aku berkata seperti itu? Aku menyesal teh. Aku gamau kalau teman-teman antipati sama Hizb karena tingkahku. Aku gamau teh. Kadang aku sempat berpikir, apakah aku diam saja teh? Aku udah sejak SMA bermasalah dengan hal seperti ini. Aku gak mau orang benci dengan ide-ide Islam yang aku sampaikan karena tingkahku yang menyebalkan”.

Aku berkata seperti itu sambil menangis hebat. Musyrifahku menenangkanku sambil mengatakan, bersyukurlah Mei… Allah telah menunjukkan keburukan kita. Yang menjadikan kita untuk senantiasa belajar menjadi lebih baik lagi.

Musyrifahku pun menceritakan kisahnya. Hampir sama, masalah soal ekspresi yang terkadang membuat orang menjadi benci dan takut. Aku pun sadar. Bahwa Allah pasti memberikan suatu kejadian seperti ini untuk menjadikan kita menjadi lebih baik dan belajar dari kesalahan.

Musyrifahku bilang, diam bukanlah suatu hal yang baik untuk kita ambil. Justru seharusnya kita tetap bicara sambil memperbaiki diri dari cara bicara dan ekspresi kita. Musyrifahku mencontohkan kata-kata yang kita anggap benar dengan berbagai ekspresi. Ternyata memang benar, perkataan yang benar tapi ekspresi kita asem. Maka mereka pun jadi antipati akan apa yang kita katakana. Bahkan bisa jadi mereka bukannya menerima dengan lapang dada, jsutru malah merasa tersakiti.

Allah memang begitu baik. Alhamdulillah… ya Allah… aku ingin menjadi lebih baik. Aku ingin senantiasa bisa tersenyum dan memberikan ekspresi yang terbaik dalam dakwah. Memberikan wajah tegas untuk sesuatu hal yang Engkau benci. Dan memberikan wajah yang manis ketika mengajak pada sesuatu yang baik dan mencegah pada yang munkar. Mudahkanlah lisan ini agar apa yang aku katakana dapat dipahami oleh orang lain. Kuharapkan selalu ridha dari-Mu, Ya Allah…. :’)

0 Comments