ANTARA DUA EXTREMA
Bismillaahir Rahmaanir Rahiem.
Ikhwah Fillah.
Semoga Allah membukakan pintu qalbu kita, serta menjadikan kita termasuk
orang-orang yang dirahmati karena menggunakan aqalnya, untuk bisa saling
menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran.
Saya berusaha menyampaikan tulisan singkat ini
dengan keyakinan agar persepsi kita bisa sama
dan agar fitnah tidak meraja lela. Semoga anda diberi kesabaran untuk membacanya
sampai selesai.
ANTARA DUA EXTREMA
Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada
keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru)
siapa ia dididik. Maka pada umumnya
seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan
dianutnya. Bila ia dilahirkan pada
sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme
yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh
seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang
fanatik. Bila ia dididik terus pada
sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik
yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di
Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh
dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.
Sebagian besar manusia terbentuk oleh
lingkungan. Pemikiran, perasaan dan
perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam
lingkungan tersebut. Jarang seorang anak
kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan "Benarkah
yang dianut orang-orang ini?".
Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan
dengan mainstream. Di Barat ini akan
"aneh" sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip
sekularisme atau demokrasi. Seperti
anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7M, ketika Muhammad saw membawa
ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad
telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat
mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah
Nabawiyah, Ibnu Ishaq).
Padahal suatu peradaban baru selalu dibangun di atas
landasan cara berpikir baru. Peradaban
Barat yang kuat dan tangguh saat ini, dibangun di atas pemikiran sekularisme,
yang di abad 16 merupakan pemikiran yang sangat kontroversial. Pada waktu itu Barat berabad-abad diselimuti
oleh kebekuan pikiran, jumud dan taqlid buta.
Pada waktu itu, Sri Paus dianggap manusia suci, wakil tuhan di dunia,
yang selalu dituntun roh kudus, sehingga dianggap semua keputusannya tak bisa
salah (infallible).
Karena itu tak heran, bila pada masa itu, di Barat
seseorang yang sakit tidak boleh dicarikan dokter, melainkan pendeta, sebab penyakit
dianggap gangguan iblis atau dosa, dan karena itu harus diusir dengan iman
(lihat Allah Sonne über dem Abendland, Hunke).
Ketika para ilmuwan seperti Galileo bermunculan di
Barat, dan mengungkap rahasia-rahasia alam, yang kadang bertentangan dengan ajaran
gereja, dengan segera hal itu dianggap sesat dan membahayakan iman ummat. Ketika akhirnya semakin banyak kajian kritis
terhadap Bible serta bukti-bukti historis maupun science yang menyanggah isi
Bible, maka muncullah sekelompok tokoh gereja dan menulis 10 jilid buku
berjudul FUNDAMENTALS OF THE TRUTH.
Mereka inilah yang mula-mula disebut kaum
"fundamentalis". Mereka yakin
Bible pasti benar. Dan bila ada sesuatu
yang bertentangan dengan Bible, itu harus ditolak.
Bentuk keyakinan bulat semacam ini tidak cuma ada di
Kristen. Di India, beberapa tahun yang
lalu, sekelompok pemeluk Hindu fanatis menghancurkan sebuah masjid berusia 5
abad, karena yakin, masjid itu didirikan di atas tempat kelahiran Dewa Rama. Orang-orang beringas ini siap berbuat apa saja
tanpa berpikir panjang, karena keyakinannya.
Keyakinan juga yang membuat anggota Irish Repulican Army siap membawa
mobil penuh bom ke tengah markas tentara Inggris. Keyakinan juga yang membuat sekte David
Koresh siap mati bersama di benteng mereka. Dan keyakinan juga yang membuat ada
tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Ibu Teresa, ataupun Nelson Mandela
yang rela menderita dan banyak berkorban, demi sebuah keyakinan. Tidak cuma Islam yang punya sejumlah besar
syuhada yang rela mati demi sebuah keyakinan.
Terus apa bedanya?
Jawaban naif dari seorang muslim adalah, bahwa para
syuhada Islam itu berada di surga, sedang yang selain Islam, bagaimanapun besar
jasanya di dunia, akan dilempar ke neraka.
Ini adalah jawaban karena kita sudah yakin dulu kepada Al-Qur'an. Bagaimana dengan orang yang sudah yakin dulu
pada Bible atau kitab Veda, yang juga menjanjikan pemeluknya suatu kenikmatan
di surga atau nirvana?
Pada banyak ajaran (juga ajaran agama), seseorang
dianjurkan untuk "yang penting yakin dulu". Iman dulu baru berpikir. Orang tidak boleh mempertanyakan mengapa dia
harus yakin dulu pada ajaran tersebut, dan tidak pada ajaran yang lain? Bagi pemeluk Yahudi, mempertanyakan
autentitas Taurat adalah dosa besar.
Kalau seorang muslim yakin kebenaran Islam hanya
karena ia dibentuk di tengah masyarakat muslim, maka hal yang sama juga bisa
dialami oleh seorang pemeluk Hindu, Kristen, Shinto, Komunis, dsb.
Kalau seorang muslim yakin pada Islam hanya karena
menganggap Islamlah ajaran yang terlengkap bagi manusia, maka seorang Yahudi
atau seorang Hindu juga yakin, ajaran mereka mencakup segala hal.
Kalau seorang muslim mengikuti Islam hanya karena ia
lihat Islam adalah "jalan termudah" untuk masuk surga, maka banyak
ajaran lain yang juga menjanjikan masuk surga lebih mudah lagi, bahkan tanpa
kewajiban yang "sulit" seperti sholat, puasa, haji ataupun keharusan
meninggalkan banyak hal yang "haram".
Kalau seseorang beribadah secara Islam hanya karena
merasa menemukan kedamaian hati, maka hal yang sama juga ditemui pada para
pendeta yang khusuk menjauhi dunia di biara-biara Budha atau Nasrani.
Kalau seseorang masuk Islam hanya karena suatu tokoh
terkenal tanpa tahu alasannya ("Kalau dia yang 'alim dan pandai saja bisa
salah, apalagi saya ..."), maka hal yang sama juga dialami seorang
Katholik pada Sri Pausnya, seorang Hindu pada Baghawannya, dan seorang Budha
pada Dalai Lamanya.
Karena itu, menyerahkan soal keyakinan dasar pada
"imitation", "emotional appeal" atau "blind
faith" akan membawa ke berbagai ajaran yang diametral.
Qalbu dan Aqal
Seseorang yang dilahirkan di Korea Utara mungkin
suatu saat akan membuka qalbunya untuk mencari kebenaran. Tapi bagaimana kebenaran bisa sampai padanya,
sedang di sana cuma komunis yang ada.
Demikian pula orang-orang Katholik yang pindah ke Saksi Yehova, mereka
juga berniat mencari kebenaran. Bahkan
mereka yang tertarik ke Islam, namun justru jadi pengikut "Nabi"
Mirza Ghulam Ahmad (Qadiyani) atau Rasyad Khalifah (Submitter) pun semula
berniat mencari yang lebih benar dari yang semula dianutnya.
Kita menganggap mereka sesat - padahal bisa jadi,
merekapun menganggap kita yang sesat.
Sepertinya dengan logika seperti ini, semua ajaran itu relatif. Dan ujung-ujungnya, orang yang bingung pada
relativitas ini akan mengucapkan "Semua agama itu baik". Dan toh kenyataan sering tak ada bedanya
perilaku seorang pemeluk agama yang satu dengan agama yang lain. Kalau suatu agama memang paling benar,
mengapa ada pemeluknya yang menjadi sampah masyarakat? Kenyataan pula, terkadang doa pemeluk agama
lain juga bisa "didengar oleh Tuhannya" (atau terkabul), sementara
doa kita tidak.
Kenyataan-kenyataan ini membuat seorang pemeluk
agama yang berangkat hanya dari qalbu, ketika mengenal dekat situasi pemeluk
agama lain bisa menjadi goyah. Seorang
muslim bisa pindah agama (murtad), jadi sekuler, atau paling tidak tak lagi
punya ghirah atas agamanya.
Sebenarnyalah, setiap manusia di dunia ini dibekali
dua hal: daya pikir (aqal) dan daya rasa (qalbu/hati). Pada uraian di atas, kita sudah melihat,
bahwa kecondongan hati seseorang tak bisa mengantarkannya menemukan
kebenaran. Sementara itu aqal punya
kemampuan melakukan analisa atas segala hal yang bisa diamati secara
empiris. Hasil analisa aqal atas suatu
hal yang sama dengan bukti pendukung yang sama, biasanya juga sama dan bisa
diulangi siapa saja. Inilah yang disebut
obyektifitas ilmiah. Karena obyektifitas
inilah, berbagai pemeluk ajaran (termasuk ajaran agama) tertarik mengilmiahkan
diri. Dengan logika mereka mencoba
menafsirkan ajaran agama yang sebelumnya hanya bisa diimani dan dipatuhinya
saja. Mereka mencoba mencari penjelasan
ilmiah tentang malaikat, surga-neraka, bahkan tentang Tuhan. Orang-orang seperti ini ada di semua
agama. Dalam sejarah Islam abad 2H
mereka ini yang disebut "kaum mutakallimin" (yang sibuk dengan ilmu
kallam).
Dewasa ini, muncul pula kaum "neo mutakallimin",
yang supremasi aqalnya begitu menonjol.
Mereka tidak cuma mengajukan teori bahwa Adam bukan manusia pertama
(agar sesuai dengan teori evolusi), tapi bahkan mencoba mengilmiahkan
ibadah-ibadah ritual. Wudhu konon demi
kebersihan. Khamr konon diharamkan
karena Arab daerah yang panas. Konon
larangan zina itu karena mengacau nasab, dsb.
Mereka inilah yang dewasa ini sering dijuluki oleh media massa sebagai
"pembaharu" karena ide-ide kontroversialnya.
Padahal kebenaran hasil analisa aqal adalah relatif,
sedang jumlah pengalaman manusia bertambah, dan begitu pula bukti pendukung
suatu ilmu pengetahuan. Ditemukannya
suatu bukti terbaru bisa meruntuhkan bangunan ilmiah yang sudah tegak sejak
lama. Ketika manusia baru tinggal di
suatu tempat tertentu, mereka anggap bumi ini datar, dan alam semesta berputar
mengelilinginya. Belakangan mereka
dapatkan bahwa bumi ini bulat, dan bahkan bukan pusat alam semesta.
Karena itu, bila semua ajaran agama dicoba dicarikan
legitimasinya dengan aqal, maka kebenarannya jadi relatif. Suatu penemuan baru bisa meruntuhkannya. Ketika ditemukan alat pencegah kehamilan,
maka terus zina bisa jadi dibolehkan, karena kekacauan nasab bisa dihindarkan. Ketika orang pergi ke daerah dingin, terus
bisa jadi khamr boleh diminum. Dan
ketika orang tidak mendapatkan air, ia tidak berani tayamum, karena tayamum toh
justru tidak membuat bersih.
Kedua kutub extrema (qalbu saja atau aqal semata)
ini sama-sama memberi hasil yang relatif, agama mana yang harus diikuti? Apakah kita lalu cuma kembali pada lingkungan
yang membesarkan kita?
Bagaimanapun juga, dalam hidupnya manusia harus
berorientasi pada sesuatu yang dianggapnya terbenar. Dan ketika hati membuka niat mencari
kebenaran, dia akan mengaktifkan aqal untuk menguji bukti-bukti yang ada yang
bisa diamati dengan panca inderanya.
Hasil pengamatan panca indera memang terbatas dan
oleh karena itu hasilnya juga relatif.
Kata Al-Ghazali "ainul yaqin itu bisa dusta". Namun sejumlah hal di alam semesta ini
merupakan fakta pasti, tidak relatif, dan bukan "dusta" lagi. Adalah fakta, bahwa setiap manusia itu lahir
berupa jasad kecil yang lemah, dan kemudian suatu saat akan mati. Adalah fakta bahwa pengaruh semua benda di
alam semesta ini terbatas, atau ada sejumlah besar keteraturan seperti
pergantian siang-malam, perkisaran angin dsb.
Dan ini semua pasti, dan tak pernah menjadi sesuatu yang relatif.
Hanya fakta-fakta inilah, dan bukan ilmu pengetahuan
yang selalu berubah, yang pantas dijadikan seseorang untuk merasakan kehadiran
Sang Pencipta (Tuhan). Dan konklusi
rasional menyatakan bahwa Tuhan harus Maha Kuasa absolut dan karena itu harus
Maha Esa. Selanjutnya konklusi rasional
juga menghasilkan bahwa jika ada seseorang yang mengaku utusan Tuhan, maka
utusan itupun harus membawa bukti yang absolut.
Di sinilah batas-batas aqal, ketika akhirnya seorang muslim
berkesimpulan bahwa Muhammad saw itu benar-benar utusan Tuhan.
Secara singkat bisa diringkas begini:
1. Qalbu:
niat mencari kebenaran.
2. Aqal:
menyimpulkan adanya sang Pencipta (Tuhan), menyimpulkan kebutuhan adanya utusan
Tuhan, dan menguji autentitas bukti utusan tsb bahwa ia dari Sang Pencipta (ini
dalam Islam = Al-Qur'an).
3. Qalbu
lagi: menerima atau menolak bukti tsb?
Baru kalau menolak kebenaran yang sudah di depan mata, ia adalah kafir.
Konsekuensi dari syahadat adalah, kepatuhan total
pada Al-Qur'an sebagai sumber nilai, karena ia datang dari Yang ilmunya tak
terbatas. Posisi aqal diturunkan hanya
sebagai alat memahami Al-Qur'an, dan bukan sumber nilainya sendiri. Al-Qur'an mewajibkan untuk mematuhi Rasul,
dan berarti melegitimasi As-Sunnah. Dan
seterusnya, seperti dijabarkan dalam Ushul Fiqh.
Adapun posisi qalbu juga diturunkan hanya sebagai
alat penghayatan dari nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur'an. Qalbu sendiri bukan sumber nilai apapun.
Dengan demikian secara umum, semua hal dalam Islam
memiliki landasan rasional, karena landasan pokoknya (aqidah) dibangun atas
dalil-dalil aqliyah, namun seterusnya, posisi aqal ada di bawah dalil-dalil
naqliyah.
Inilah yang membedakan Islam dengan semua ajaran
lain yang ada. Sekedar menjernihkan
pemahaman: terminologi "aqidah" berbeda dengan "iman". Kata "aqidah" tidak pernah
ditemukan dalam Qur'an/Hadits. Aqidah
sebenarnya adalah "ilmu keyakinan", baik yang mengantar seseorang sehingga
yakin (dalam Islam ditunjukkan dengan syahadat) atau yang menyangkut hal-hal
apa yang harus diyakini seorang muslim setelah bersyahadat (seperti rukun
iman).
Barangkali ini cara menempatkan qalbu dan aqal pada
posisi dan proporsi masing-masing, seperti yang tersebut pada QS Ali-Imron ayat
7.
Extremitas
Bila seorang muslim menyadari kapan ia harus memakai
aqal atau qalbu, dan kapan ia cukup taat kepada dalil, maka insya Allah dia
tidak akan terjebak ke extremitas.
Dia tidak terjebak ke kelompok extrem yang
mendewa-dewakan aqalnya, baik yang menghabiskan waktunya untuk memperdebatkan
soal-soal mutasyabihat seperti para mutakallimin (yang mempertanyakan:
"Apakah Tuhan punya tangan, kalau punya, berapa jarinya", atau
"Di manakah letak aqal, di otak atau di dada?",...), maupun kaum
liberalis yang "ijtihadnya" menghalalkan segala hal, dan ketika
dibantah secara ilmiah dengan dalil-dalil Qur'an dan Hadits yang qath'iy
(=jelas) pun mereka akan berkilah "Sebaiknya kita saling tenggang rasa,
karena yang benar itu cuma Allah".
Mereka akan sampai pada tahap tidak lagi mengkafirkan ajaran yang
nyata-nyata di luar Islam. Mereka
katakan, bahwa semua agama itu "hanif", jadi ada Kristen yang muslim,
Budha yang muslim, ... atau sebaliknya: Muslim yang Kapitalis, Muslim yang
Komunis, dan sejenisnya. Dan ketika
ulama-ulama yang tawadhu' dan wara' mencoba memperingatkan ummat bahaya tokoh
intelektual seperti ini, serta menunjukkan ciri-ciri yang benar akan mujaddid
sejati (di antaranya soal "taqwa"), maka peringatan itu ditepis
dengan kata-kata: "Sudahlah, jangan menilai ketaqwaan seseorang. Apakah anda bisa membaca hati
saya?". Padahal betapa jelas di
Qur'an disebutkan ciri-ciri orang mukmin, muslim ataupun muttaqin.
Namun kita juga tidak terjebak ke kelompok extrem kedua
yang mendewa-dewakan hati, yang menolak menggunakan aqal sama sekali, bahkan
terkadang menolak fatwa yang jelas dengan dasar dalil-dalil yang tegas, karena
"berfatwalah kepada qalbu".
Banyak dari mereka yang tidak mengenal hukum yang qath'iy seperti
larangan riba atau wajibnya berhijab bagi wanita - tanpa merasa bersalah,
karena "qalbunya tenang saja".
Hal ini karena mereka relatif fanatis terhadap person atau taqlid buta
pada madzhab tertentu, dan bahkan cukup mudah untuk mengkafirkan orang yang berbeda
pendapat dari kelompoknya. Bila
dibawakan hadits, Rasulullah pernah bersabda, bahwa seorang mujtahid itu bila
salah dalam ijtihadnya, akan mendapat satu pahala, bila benar dua pahala (HR
Bukhari & Muslim); sedang imam mereka seperti juga imam-imam yang lain,
paling pol hanyalah mujtahid, sehingga bisa jadi tidak selalu benar - walaupun
kesalahan ijtihadnya tetap berpahala, mereka dengan serta merta akan
berprasangka kita telah melecehkan imam mereka.
"Kalau imam saya bisa salah, apalagi anda yang bukan apa-apa ...
", kilah mereka. Tak jarang itu
berakhir dengan tawur masal. Di sisi
lain, banyak dari mereka yang setelah lepas dari lingkungannya, menjadi goyah,
akhirnya menanggalkan semua yang diyakininya.
Penempatan aqal dan hati yang tidak pada posisinya
serta tidak proporsional ini adalah salah satu faktor kejahiliyahan yang
membuat ummat Islam dewasa ini menukik ke dasar kemundurannya. Energi mereka tidak tersalur produktif. Sama-sama berniat untuk mengibarkan bendera
Islam, namun yang satu terlalu jauh berangan-angan dalam dunia logikanya atau
justru secara tak sadar membuat ajaran Islam berantakan, sementara yang lain
terlalu melangit dengan keyakinan serta ritual yang diajarkan imamnya, dan
lepas dari realitas dunia.
Sementara itu, orang-orang yang memang benar-benar
masih di luar Islam, dan sama sekali belum mengenal Islam, dibiarkan tetap
benci pada Islam, dibiarkan tetap menerima fitnah-fitnah tentang Islam, melihat
fakta pada ummat Islam, atau paling pol kenyataan bahwa "Islam juga sama saja
dengan ajaran lain, yang penting iman dulu, baru mikir". Kita tidak sanggup menjelaskan Islam secara
rasional pada mereka, karena kita sendiri pun beragama tidak secara rasional. Kita masuk Islam karena kebetulan lahir di
dalam lingkungan Islam. Dan kita tidak
pernah berani mencari atau bertanya, apa benar yang sudah dianutnya itu adalah
Islam?
Catatan pinggir
Saya bersyukur bahwa saya dibesarkan dalam keluarga
dan lingkungan Islam. Ayah saya seorang
ustadz dan pula seorang hafidz (penghafal Qur'an). Beliau dulu pemilih Masyumi. Paman saya memiliki pesantren, dan beliau
murid langsung Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari Tebu Ireng, pendiri NU. Dua kakak ipar saya adalah tokoh-tokoh
Muhammadiyah, yang aktif dalam berbagai aktivitas nyata seperti membentuk
sekolah, rumah sakit islam hingga menangkal kristenisasi. Saya juga bersyukur pernah mengenal
latihan-latihan seperti yang diadakan oleh PII, HMI, Salman ITB, dsb.
Namun sejak saya berada di Luar Negeri selama lebih
dari sembilan tahun ini, mau tidak mau saya harus mencari kembali alasan
mengapa saya yakin dengan Islam. Saya
pernah sekamar dengan orang Jerman yang bercita-cita jadi pastor dan sekolah
teologi di Austria Saya juga pernah
setahun sekamar dengan orang Etiopia yang penganut Kristen Koptik yang
taat. Saya pernah setahun juga bergaul
akrab dengan orang Thailand yang memeluk budhisme yang tidak mengenal existensi
Tuhan. Saya kenal dekat beberapa
keluarga Kristen yang ramah dan berahlaq mulia (mereka jujur, sabar, menepati
janji, suka menolong, dsb). Kenal dekat
dengan beberapa fraters yang tinggal di suatu biara, yang menampung para
pengungsi Bosnia, bahkan menyediakan mushola bagi mereka. Saya berkali-kali bertemu missionaris yang
bekerja pada orang Austria sendiri, yang menginjilkan orang-orang Kristen
sendiri! Saya juga pernah diskusi
intensif dengan Saksi Yehova, Syiah Ismailiyah, Alawiten, bahkan orang-orang
yang mengaku atheis. Saya mengenal
seorang ibu muslim yang menikah lagi dengan seorang "Kristen yang
baik", karena bagi dia untuk apa punya suami muslim yang jahat dan tukang
mabuk seperti suaminya pertama? Saya
juga bertemu banyak kawan-kawan yang semula "santri" namun setelah di
Eropa akhirnya hidup seperti "layaknya" orang Eropa: bebas tanpa
batas.
Dari situ saya bisa menyimpulkan, bahwa banyak dari
kita yang cara berimannya pada Islam masih sama dengan orang-orang kafir
tersebut, dan dampaknya terlihat pada sikap extrem yang saya tulis di
atas. Terkadang hasil keislaman mereka
jauh lebih buruk daripada kekafiran seorang Eropa yang memang sama sekali belum
pernah mendengar Islam yang benar.
Semoga ikhwah bisa membagi kecemasan saya ini.
Wallahu a'lam bis shawab.
0 Comments