Hakekat Syetan dan Jahiliyah
Wibawa Islam akan hancur sedikit demi sedikit
bila di kalangan Islam tumbuh orang-orang yang tidak
mengetahui hakekat jahiliyah.
('Umar ibn Khattab)
Hakekat Syetan adalah Pembangkangan
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian
mereka membisikkan pada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu (manusia) ... (QS. 6:112)
Syetan adalah makhluk Allah dari golongan manusia
dan jin yang membangkang perintah Allah.
Syetan dari golongan jin disebut iblis.
Iblislah yang pertama membangkang perintah Allah untuk menghormat Adam.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali
iblis. Dia adalah dari golongan jin,
maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah
musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai
pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS. 18:50)
Hal ini dilakukan iblis karena harga dirinya yang
berlebihan, yang menumbuhkan rasa sombong, sehingga tidak mau menerima
kebenaran. Bukankah iblis mengetahui
pasti keberadaan Tuhan, dan bahkan telah langsung berkomunikasi
dengan-Nya? Jadi sebenarnya iblis
mengetahui yang benar, namun egonya terlalu besar, dan ia telah menuruti hawa
nafsunya itu.
Karena itu syetan dari golongan manusia, adalah
manusia-manusia yang sebenarnya sudah tahu mana yang benar, tapi mereka tidak
berbuat sesuai dengan pengetahuannya.
Mereka tahu bahwa shalat itu wajib, tapi mereka membangkang tidak mau shalat. Padahal shalat adalah sujud kepada
Allah. Bukankah iblis telah dilaknat
hanya karena membangkang perintah sujud ke Adam?
Jelaslah kini, bahwa hakekat syetan bukanlah
hantu-hantu yang menakut-nakuti orang di kuburan, tapi bagi kita terutama,
adalah orang-orang yang membangkang perintah Allah, syari'at Allah, hukum-hukum
Allah, sekalipun mereka mengetahuinya.
Mereka mengajak manusia berbuat boros, membuat kondisi sehingga manusia
terjerumus ke dalam zina, khamr, judi, permusuhan dan sebagainya.
Syetan-syetan inilah yang lebih berbahaya bagi
aqidah kita, karena kita sering tidak menyadari kehadirannya, karena mereka
sering berkedok penyair, bintang TV, pemimpin, bahkan ulama.
Hakekat Jahiliyah adalah Berbuat Irrasional
Aqidah Islam (keyakinan adanya Allah, Muhammad saw
adalah utusan-Nya, dan Qur'an adalah wahyu Allah) dibangun dengan rasio dan
logika. Setelah itu, maka semua yang
berasal dari Nabi dan Qur'an harus diterima, meskipun pada suatu masa mungkin belum
bisa difahami. Namun secara prinsip,
alur kepercayaan ini logis.
Lain halnya dengan kepercayaan yang tidak memiliki
dasar-dasar rasional. Pada zaman Nabi,
sebenarnya orang-orang Mekkah juga percaya adanya Allah. Tapi mereka merancukannya dengan kepercayaan
dan kebiasaan buruk lainnya, hanya dengan alasan memenuhi tradisi. Hal ini tidak sekedar dengan memuja berhala
atau menggunakan jimat, namun yang paling fatal adalah solidaritas golongan,
yang tidak memandang benar salahnya.
Akibatnya, di zaman itu, banyak timbul perang suku
atau kabilah, yang disebabkan oleh persoalan sepele (biasanya masalah harga
diri). Pada zaman itu berlaku slogan:
"Dukunglah saudaramu, apakah ia penindas atau yang tertindas".
Maka tidaklah heran, bahwa salah satu hal yang
ditanamkan Nabi setelah aqidah adalah ukhuwah Islamiyah - ukhuwah yang dibangun
dengan dasar kebenaran, dan bukan dengan dasar golongan, baik itu mulai dari
keluarga, suku, ras maupun bangsa!
"Barangsiapa menyerukan nasionalisme, dia bukan
termasuk kita. Barangsiapa berperang
atas dasar nasionalisme, dia bukan termasuk kita. Dan barangsiapa mati dalam nasionalisme, dia
bukan termasuk kita" (HR Abu Dawud & Tirmidzi).
Karena itu, dalam masalah solidaritas, kita harus
memperhatikan duduk permasalahannya.
Kita harus menilai kebenaran lepas dari apakah pihak yang membawanya itu
satu suku, satu agama, satu ras atau satu golongan dengan kita. Karena kebenaran tidak pandang bulu.
Pada zaman Nabi pernah terjadi, seorang Muslim
bersengketa dengan seorang Yahudi, sementara si orang Yahudi ini sebenarnya di
pihak yang benar. Si orang Muslim ini
mengadu kepada Nabi, dengan harapan bahwa Nabi akan berpihak padanya, dan
hampir saja Nabi berbuat demikian. Namun
Allah kemudian menurunkan wahyu yang memberi tahu duduk permasalahannya,
sehingga Nabi pun akhirnya memenangkan orang Yahudi itu.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, dan menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5:8)
0 Comments