Beberapa waktu yang lalu, ketika saya menyempatkan diri membaca Jawa Pos, saya menemukan sebuah kata-kata sindiran yang cukup unik, sebagaimana yang dapat kita baca pada judul diatas. Kata-kata diatas dimaksudkan untuk menyindir birokrasi di Indonesia yang dianggap terlalu rumit. Tetapi dalam hal ini, saya tidak akan membahas mengenai permasalahan birokrasi di Indonesia dengan segala keruwetannya, akan tetapi saya hanya akan mencoba melihat fenomena dakwah yang kelihatannya agak terkait dengan kata-kata diatas. Jika dikatakan bahwa dakwah itu hal yang wajib bagi tiap-tiap muslim, mungkin semuanya sepakat. Kitapun seringkali juga mendengar sabda Nabi, yang isinya perintah untuk menyampaikan risalah Islam ini, walaupun hanya satu ayat saja. Sedangkan di dalam Al Qur'an sendiri , perintah untuk berdakwah itu bukan main banyaknya. Misalnya dalam Ali Imron 110, Allah telah memberikan motivasi dan legitimasi bahwa kita itu (kaum muslimin) adalah ummat yang terbaik yang selalu menyeru kepada kebajikan dan mencegah kepada kemungkaran. Oleh sebab itulah, sebenarnya setiap kita adalah para da'i (penyeru), terlepas dari kapasitas seruan yang mampu kita sampaikan.

Tetapi dalam kenyataannya, nampaknya perintah dakwah ini tidak banyak difahami oleh kita; terbukti jika ada seruan untuk menjadi mentor misalnya, kita banyak yang ogah-ogahan, padahal saya yakin seyakin – yakinnya, bahwa di kampus ini banyak orang yang kalau hanya menjadi mentor saja bisa. Alasan yang paling sering kita jumpai adalah alasan takut, wong ilmu kita belum seberapa kok sudah mau berdakwah. Kalau urusan berdakwah kan seharusnya diserahkan kepada ahlinya, ya bisa ustadz atau kiai, padahal sebenarnya kita sudah tahu, apakah ada ustadz atau kiai yang sanggup menjadi mentor di kampus kita. Lalu akhirnya diri kita lepas tangan dan tidak mahu tahu, apakah kampus kita mau jadi Sosialis, Liberalis, Komunis, Narkobais, Freesexis dan yang sejenisnya.
Fikiran kita biasanya memang begitu. Kita seringkali menimpakan tanggung jawab kita kepada orang lain, padahal dalam kenyataannya, orang yang kita harapkan itu belum tentu bisa memenuhi harapan kita. Kita tidak pernah berfikir bahwa diri kita itu sebenarnya merupakan SDD (Sumber Daya Da'i) 6 yang amat potensial. Ya kalau merasa belum punya kesiapan, bukan lantas kita lepas tangan dari tanggung jawab, tetapi seharusnya kita berfikir bagaimana agar kita mempunyai kesiapan untuk itu.

Menjadi da'i, sulitkah ?

Jika kita ditanya tentang hal diatas, saya yakin (semoga ini keliru) bahwa jawabannya adalah “sangat sulit”. Kenapa ? Karena menurut anggapan kita, da'i itu harus, pertama punya ilmu-ilmu yang hebat, seperti kemampuan berbahasa arab, ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu mantiq, ilmu fiqih. Sedangkan Fiqih sendiri masih terdiri dari fiqih daulah, fiqih sholat, ......, fiqih munakahat dan sebagainya. Ini tentu menjadi beban tersendiri bagi kita, karena mana mungkin kita menguasai semua ilmu itu sekarang, padahal kita dalam kuliah juga masih dituntut dengan ilmu-ilmu kontrol automatic, fuzzy logic, pengendalian optimal, deret legendre, dan sebagainya. Kedua, mengenai tangung jawab kita terhadap apa yang kita sampaikan; artinya sebagai da'i tentu akhirnya hidup kita akan terbatasi, karena da'i itu adalah contoh bagi yang di dakwahi. Betapa repotnya jika kita ketemu rekan terus harus ber “Assalamu ‘alaikum”, padahal kita telah terbiasa dengan cak-cuk. Sementara itu kita juga tidak lagi bisa bebas bercinta dengan bergandengan tangan berdua, karena jika demikian orang akan berkata, “Wah, da'i kok bergandengan tangan dengan cewek”.
Intinya kehidupan kita menjadi sempit dan terbatasi. Mau berpakaian yang terbuka kok nggak pantes, mau beli majalah yang berbau porno kok malu, mau ngrasani orang kok tabu dan lain-lain. Padahal kalau kita tidak menjadi da'i, kan kita bisa bilang “Ya...nggak masalah”. Kalau kita terus menanggapi anggapan-anggapan yang ada di kepala kita, dan anggapan-anggapan orang lain, tentu kita tidak akan pernah menjadi da'i, tidak akan pernah menjadi mentor, tidak akan pernah menjadi aktifis muslim. Kita akhirnya hanya santai-santai dan kehidupan kita akan datar dan tidak visioner. Akhirnya orientasi kita terlalu duniawi, padahal visi dunia itu kan tidak seberapa, karena kata Alloh, akhirat itu lebih baik dan lebih kekal, wal aqiraatu khairu wa abqa.

Tentang anggapan bahwa untuk menjadi da'i harus seorang ustadz yang memang mendalami Islam secara khusus, saya rasa tidak harus; karena sebenarnya berdakwah itu sesuai dengan kemampuannya. Kalau kita baru bisa cara membaca Alqur'an misalnya, ya itu yang kita sampaikan. Bukankah kata Rasul, sampaikan dariku walau satu ayat.

Jika membahas masalah ini, saya jadi teringat dengan peristiwa Pengajian Iktikaf Ramadhan di Jogja beberapa waktu yang lalu. Saat itu rekan saya berkonsultasi dengan ustadz Ibnu Juraimi, yang inti konsultasinya itu tentang katakutan berdakwah, karena menganggap dirinya kurang ilmu. Tetapi jawaban singkat dari Ustad Juraimi kayaknya menjawab semua ketakutan itu. Beliau hanya bilang “Tidak usah menjadi Nabi dahulu baru berdakwah”. Artinya apa yang kita punyai, ya itulah yang akan kita sampaikan. Atau jika kita ingin menyampaikan sesuatu yang belum kita ketahui, ya kita mesti belajar dahulu. Tidak usah menunggu kita menjadi “Nabi” baru kita berdakwah. Karena itu merupakan suatu hal yang mustahil.
Oleh sebab itulah kita tidak usah mempersulit diri dengan syarat yang ndakik-ndakik untuk menjadi seorang da'i, cukuplah dengan apa yang kita punyai dan tekad membaja yang ada dalam dada kita. Atau jika kita merasa bahwa menjadi da'i akan membuat kita terbelenggu, sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa diri kita belum mempunyai iktikad yang benar untuk berbuat baik. Kita masih ingin bernikmatnikmat dengan nafsu duniawi.

Oleh sebab itulah menjadi da'i itu sebenarnya bukanlah pekerjaan yang sulit, pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan, karena jika demikian, Allah tentu tidak akan memerintahkan semua muslim untuk berdakwah ? Menjadi dai sebenarnya ya menjadi manusia biasa, ya mempunyai keterbatasan ilmu, ya mempunyai keterbatasan yang lain; tetapi mungkin satu hal yang perlu di catat adalah, para da'i mempunyai semangat untuk berbuat baik dan memperbaiki diri, semangat untuk melaksanakan aktifitas positif. Sebagaimana di zaman Rasulullah para shahabat juga beraktifitas secara manusaiwi, sambil terus memperbaiki diri.
Jadi kalau begitu kenapa kita tidak mengubah paradigma yang ada di kepala kita, bahwa menjadi da'i itu sulit menjadi mudah? Memudahkan bukan berarti memudah-mudahkan, atau berarti menganggap enteng, tetapi memudahkan artinya tidak membuat sesuatu yang pada dasarnya biasa saja menjadi sesuatu yang terkesan sangat sulit, dengan berbagai aturan yang membuat orang menjadi jauh atau bahkan lari dari “dakwah”.
Dalam bukunya yang berjudul Fiqul Aulawiat, Dr Yusuf Qordlowi mengatakan bahwa diantara prioritas yang ditekankan, terutama dibidang fatwa dan dakwah adalah mendahulukan untuk meringankan dan memudahkan, daripada memberatkan dan mempersulit. Rosululloh jika ditawarkan untuk memilih antara dua perkara, maka beliau mengambil yang paling mudah diantara keduanya selama tidak berdosa, tetapi jika itu berdosa maka beliau orang yang paling menjauhi daripadanya, begitulah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah ra. Jika begitu kenapa kita harus takut dengan bayangan sendiri, atau takut dengan orang yang menakut-nakuti.
Mulailah azzam itu dalam dirimu dan berkatalah dalam hatimu 
“Jadi da'i,.....uh, siapa takut?”
Wallhu A’lam

Sekretariat Jama’ah Masjid Manarul ‘Ilmi ITS, 21 April 2000
Oleh Edy Santoso




0 Comments